Sebagai negara yang menguasai pangsa pasar minyak sawit dunia mencapai 49%, potensi industri kelapa sawit di Indonesia terbilang masih belum optimal dalam pengembangannya. Di dalam negeri, masih banyak hambatan yang mempersulit tumbuhnya industri kelapa sawit di sektor hulu maupun hilir. Selain itu, dukungan dari pemerintah pusat dan daerah masihlah minim walaupun penyerapan tenaga kerja di perkebunan sawit mencapai 4,7 juta orang.
Enny Sri Hartati, Direktur Institute for development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan berdasarkan kajian dari lembaganya potensi industri sawit ini sangatlah tinggi mulai dari hulu sampai turunannya. Produk CPO yang diolah sebagai produk sabun mandi berkontribusi terhadap nilai tambah sebesar 300% dan kosmetik mencapai 600%. Oleh karena itu, pengembangan sawit diharapkan tidak terpaku kepada produk minyak goreng dan margarin, yang masing-masing nilai tambahnya 60% dan 180%. Potensi ini belum termasuk pula dari pemanfaatan limbah kelapa sawit yang bernilai tinggi untuk produk pakan ternak dan mebel.
Dengan potensi sedemikian besar, ternyata pemerintah tidak sepenuhnya fokus bagi pengembangan industri sawit. Menurut Enny Sri Hartati, tidak ada profil industri dan blue print operasional yang menjadi peta arah bagi pemangku kebijakan yang terkait dengan industri sawit. “Kalau saja, potensi industri sawit sudah dapat dirumuskan sebagai industri bernilai strategis dan bernilai tambah. Dapat dipastikan, industri sawit kita berkembang besar khususnya di kawasan Asia,” ujarnya.
Dia menambahkan sebenarnya pemerintah telah paham masalah apa saja yang dihadapi industri sawit, tetapi langkah konkrit tak kunjung dilakukan. Semua pernyataan pemerintah barulah sekadar wacana dan tanpa kebijakan riil.
Tekanan yang paling dirasakan adalah terbitnya regulasi di tingkat nasional dan daerah yang menurunkan daya saing produk sawit. Sebut saja, pemberlakuan regulasi perpajakan mengenai PPn atas produk primer TBS yang berakibat menjadi pajak berganda bagi perusahaan perkebunan yang terintegrasi. Enny Sri Hartati mengakui PPn TBS ini bersifat simalakama karena aktivitasnya yang terkena pajak setelah barangnya berubah bentuk.
Aturan pajak lain yang memberatkan berasal dari pemberlakukan bea ekspor CPO yang bersifat progresif. Dalam artikelnya, Bustanul Arifin, Pengamat Ekonomi Pertanian, menyebutkan BK CPO ini sering berdampak distortif bagi perekonomian, mulai dari sebagai disinsentif bagi peningkatan ekspor. Selain itu, akan berdampak kepada inflasi yang dapat meresahkan dan sampai ancaman persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku.
Hermanto Siregar, anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN), beberapa waktu lalu sempat mengatakan di satu sisi tarif bea keluar dapat meningkatkan pendapatan pemerintah namun di sisi lain menyebabkan harga CPO domestik turun. Pemberlakuan bea keluar ini yang bersifat progresif kurang berdampak positif kepada pembangunan ekonomi apabila tidak dikembalikan lagi untuk pembangunan infrastruktur dan dikembalikan untuk membantu petani dalam peningkatan produktivitas.
Erik Satrya Wardhana, Wakil Ketua Komisi VI DPR, mengkritik kebijakan bea keluar CPO yang sekarang berlaku tanpa disertai dukungan terhadap kebijakan hilir sawit. Kurang ditatanya industri hilir sawit mengakibatkan petani menjadi korbannya. “Petani perlu juga diberikan akses ke sektor hilir. Kalau sekarang ini, BK CPO memangkas harga jual TBS di tingkat petani,” kata Erik.
Tidak cukup tekanan di sektor fiskal, perusahaan perkebunan dibebani oleh pembatasan luas lahan lewat Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 mengenai moratorium hutan alam serta lahan gambut, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 yang salah satu pasalnya membatasi kepemilikan luas lahan. Akibatnya, rencana pemerintah yang menargetkan target produksi sebesar 40 juta ton dikhawatirkan sulit tercapai. Pasalnya, pertumbuhan lahan sawit baru diperkirakan akan di bawah 5% per tahun, sementara di sisi lain produktivitas CPO masih terbilang rendah.
Selain itu, otonomi daerah belum berdampak positif bagi iklim investasi di sektor perkebunan khususnya sawit. Ini terbukti dari munculnya peraturan daerah yang menghambat laju investasi, sebagai contoh pemerintah daerah Kalimantan Timur mengeluarkan aturan yang melarang transportasi pengangkutan kelapa sawit lewat jalan umum. Perusahaan diminta membuat jalan khusus untuk kendaraan pembawa TBS dan CPO mereka.
Hendri Saparini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, berpendapat dukungan kepada industri sawit itu belum jelas arahnya, apakah produk CPO ini dijadikan prioritas bagi sektor perekonomian. Meskipun, kontribusi minyak sawit sangatlah besar dalam perdagangan ekspor. Keinginan menjadikan sawit sebagai industri unggulan membutuhkan kebijakan yang menyeluruh artinya ada rencana jelas dengan jangka waktu khusus apabila industri sawit masuk skala prioritas.
Menurut Enny Sri Hartati, pemerintah Indonesia menjadikan semua produk komoditi sebagai prioritas, bukannya dipilah mana saja komoditi yang cocok dijadikan prioritas dan strategis. Bicara prioritas disini dalam arti yang berdaya saing tinggi seperti kelapa sawit. Khusus produk pertanian, INDEF mengusulkan lima jenis komoditi prioritas antara lain kelapa sawit, karet, kakao, rotan, dan rumput laut. Sehingga, pemerintah mampu mengakselerasi kebutuhan industri tadi misalkan pemberian insentif dan pembangunan infrastruktur.
Ditambahkan Enny Sri Hartati, keinginan pemerintah yang ingin membangun industri hilir sawit ternyata tidak dibarengi menciptakan integrasi industri hulu dan hilir. Maka blue print yang sifatnya jangka menengah panjang sangat dibutuhkan, karena itu pembangunan hilir sawit tidak akan selesai dalam waktu lima tahun masa kepemerintahan presiden.
“Tetapi ini kan tidak menarik rezim pemerintah yang berkuasa karena berbicara mengenai politik. Jadi upaya ini demi mengamankan kepentingan yang berkuasa,” ujarnya.
MINIM ADVOKASI PEMERINTAH
Selesainya Konferensi World Trade Organization (WTO) yang berlangsung 3-6 Desember 2013 di Bali banyak dikritik banyak kalangan karena tidak ada kepentingan Indonesia yang diperjuangkan dalam forum tersebut. Walaupun, seminggu sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Konferensi IPOC Gapki, menginstruksikan supaya hambatan perdagangan yang dialami produk kelapa sawit untuk diperjuangkan dalam forum tersebut.
SBY meminta negosiasi harus dilakukan lebih keras karena ini berkaitan dengan persaingan dagang. Dirinya meminta supaya delegasi Indonesia dapat memperjuangkan komoditas unggulan seperti CPO di forum WTO. Sebagai tuan rumah, menurutnya, pertemuan ini sebaiknya dapat menguntungkan Indonesia juga.
Tercatat, ada beberapa isu yang dapat diperjuangkan misalkan regulasi perdagangan bersifat diskriminatif terhadap produk CPO dan turunannya. Paling penting, menyakinkan negara lain bahwa kelapa sawit itu merupakan produk ramah lingkungan untuk melawan isu kampanye negatif.
Erik Satrya Wardhana mengkritik delegasi Indonesia yang kurang bertaji dalam forum WTO untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya terutama komoditi yang menjadi penyokong perekonomian negara termasuk kelapa sawit. Padahal, kelapa sawit berpengaruh besar terhadap hajat hidup orang banyak.
“Di WTO itu, delegasi kita masih mempunyai mental kompromi dengan kepentingan asing. Sikap inilah yang muncul dalam diri pejabat kita. Kalau melayani orang lain itu bagus tetapi jangan menginjak diri sendiri, itukan namanya zolim,” ujarnya.
Dia menambahkan pemerintah Indonesia ini diselamatkan oleh sikap keras India yang membela kepentingan bangsanya. Sayangnya, tidak ada satupun kepentingan nasional yang diperjuangkan.
Pandangan serupa datang dari Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR, berpendapat Indonesia mestinya punya posisi tawar yang kuat bukan menjadi penonton saja. Pemerintah idealnya mencontoh delegasi India yang memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam forum WTO.
“Inilah kebodohan pemerintah Indonesia yang tidak mampu memanfaatkan forum strategis seperti WTO. Sebab, forum ini sebenarnya dapat dipakai untuk melindungi produk nasional yaitu sawit, yang berkontribusi terhadap APBN,” pungkas Firman. (Qayuum Amri)