08
Apr
2014
No Comments
Muhammad Hatta
Pendahuluan
Produktivitas pertanian saat ini sebagian besar didukung oleh penggunaan bahan kimia yang intensif. Sayangnya, penggunaan bahan kimia ini tidak dilakukan dengan bijaksana. Pestisida digunakan tanpa aturan dan pupuk anorganik digunakan secara berlebihan. Akibatnya, lingkungan menjadi rusak. Banyak ekosistem di sekitar daerah pertanian telah menjadi mati akibat terjadinya ketidakseimbangan pada rantai makanan. Pada suatu titik, bila tidak ada perubahan paradigma, maka produk pertanian akan bermasalah, kuantitas dan mutunya akan terus semakin menurun.
Dewasa ini pupuk anorganik menjadi andalan utama dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, penggunaannya sudah sangat berlebihan dari yang sebenarnya diperlukan oleh tanaman. Dari seluruh jenis pupuk anorganik yang digunakan sebagai input pada pertanian, maka pupuk nitrogen (N) merupakan yang paling banyak dan intensif digunakan petani. Oleh karenanya, pupuk N anorganik inilah yang paling banyak disalahgunakan.
Menurut Cummings dan Orr (2010) kendatipun aplikasi pupuk N anorganik telah memberikan keuntungan yang nyata pada produksi pangan dan ketahanan pangan dunia dalam jangka pendek, namun ada keprihatinan yang meluas terhadap keberlanjutan penggunaan teknologi ini untuk jangka panjang agar dapat terus memberi makan seluruh populasi dunia yang terus meningkat. Penggunaan pupuk N anorganik secara terus menerus akan menyebabkan perusakan tanah pertanian, antara lain sebagai akibat dari hilangnya bahan organik, pemadatan tanah, peningkatan salinitas, dan pencucian nitrat anorganik.
Untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk nitrogen anorganik, diperlukan terobosan baru di bidang pertanian. Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan antara lain irigasi mikro, pertanian organik, eko-pertanian, dan pemanfaatan bakteri akar pemacu pertumbuhan tanaman (BPPT). Dari pilihan yang tersedia saat ini, maka pemanfaatan BPPT merupakan opsi yang menjanjikan. Selain secara ekonomi sangat menguntungkan, BPPT juga sangat ramah lingkungan sehingga diharapkan peningkatan produktivitas hasil pertanian dapat terus berkesinambungan selamanya.
Menurut Aeron et al. (2011) ada beberapa jenis mikroba yang berpotensi untuk dimanfaatkan. Bakteri tersebut antara lain Actinoplanes, Agrobacterium, Alcaligens, Amorphosporangium, Arthrobacter, Azospirillum, Azotobacter, Bacillus, Burkholderia, Cellulomonas, Enterobacter, Erwinia, Flavobacterium, Gluconacetobacter, Microbacterium, Micromonospora, Pseudomonas, Rhizobia, Serratia, Streptomyces, Xanthomonas. Bakteri ini hidup baik di daerah rhizosfer, sehingga mereka diberi nama rhizobakteri. Namun, artikel ini memfokuskan pada bakteri Azospirillum.
Azospirillum
Azospirillum adalah bakteri yang hidup di daerah perakaran tanaman. Bakteri ini berkembang biak terutama pada daerah perpanjangan akar dan pangkal bulu akar. Sumber energi yang mereka sukai adalah asam organik seperti malat, suksinat, laktat, dan piruvat (Hanafiah et al., 2009).
Azospirillum termasuk bakteri yang hampir dilupakan orang. Sejarahnya, menurut Holguin et al. (1999), Azospirillum pertama sekali diisolasi dari tanah berpasir yang miskin unsur nitrogen di Belanda. Akan tetapi, manfaat dari penemuan ini tidak disadari selama lebih dari 50 tahun sampai Döbereiner and Day pada tahun 1976 melaporkan bahwa rumput yang berasosiasi dengan Azospirillum tidak menunjukkan gejala kekurangan nitrogen dibandingkan dengan rumput sekitarnya yang tanpa Azospirillum. Sejak saat itu, diketahuilah bahwa anggota genus bakteri ini mampu menambat nitrogen atmosfer dan memacu pertumbuhan tanaman.
Pernah suatu ketika, orang berpikir bahwa telah ditemukan bakteri penambat N pada tanam sereal yang serupa dengan bakteri pada kacang-kacangan. Hal ini karena inokulasi dengan Azospirillum spp. dapat meningkatkan hasil sereal di lapangan hingga 30%, bahkan dengan kenaikan yang lebih besar di bawah kondisi rumah kaca. Namun, hasil ini tidak selalu konsisten dan bila diulang sulit mendapatkan hasil yang sama. Faktor yang bertanggung jawab atas penyimpangan hasil ini belum teridentifikasi, terutama karena atribut hubungan antara tanaman-Azospirillum belum dipahami dengan baik.
Tidak seperti Rhizobium, inokulasi tanaman dengan Azospirillum tidak menimbulkan nodulasi pada akar tanaman. Oleh karena itu, bagaimana mekanisme bakteri ini membantu pertumbuhan tanaman tidak sama dengan Rhizobium yang kita kenal. Di antara modus yang diusulkan antara lain: sekresi fitohormon, fiksasi nitrogen, produksi molekul isyarat, produksi nitrit, dan peningkatan penyerapan mineral oleh tanaman. Karena tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung gagasan dari salah satu mekanisme tersebut, maka satu hipotesis aditif telah diusulkan oleh Basan dan Levanony tahun 1990. Gagasan aditif ini mengusulkan bahwa efek menguntungkan dari inokulasi Azospirillum terhadap pertumbuhan tanaman adalah hasil dari semua mekanisme yang disebutkan di atas secara bersamaan atau berurutan (Holguin et al. 1999)
Genus Azospirillum
Menurut Reis et al. (2011), Azospirillum adalah bakteri gram negatif, termasuk dalam phylum alphaproteobacteria. Bakteri ini hidup pada lingkungan dan tanaman yang beraneka ragam, tidak hanya tanaman agronomi yang penting, seperti sereal, tebu, rumput, tetapi juga pada tanaman lain seperti kopi, buah-buahan dan bunga-bungaan. Azospirillum adalah bakteri aerobik kemoorganotrop non-fermentatif, vibroid dan memproduksi fitohormon, terutama auksin. Mereka menggunakan beberapa sumber karbon terutama gula dan alkohol gula.
Sampai saat ini, setidaknya telah ditemukan 15 spesies Azospirillum. Nama spesies Azospirillum yang telah ditemukan beserta sumber karbonnya dapat dilihat pada Tabel 1. Namun demikian, dari sisi fisiologi dan genetik, ada dua spesies yang paling banyak dipelajari, yaitu A. brasilense dan A. lipoferum. Di dalam tanah, keduanya terdapat dalam jumlah yang banyak, khususnya di daerah tropis, yang berasosiasi dengan tanaman rumput, jagung, padi, sorgum, tebu, dan beberapa tanaman lainnya. Namun demikian, selain berasosiasi dengan tanaman, kedua bakteri ini juga berasosiasi dengan kondisi lingkungan lainnya, di bawah suhu tinggi dan kontaminasi.
Spesies ketiga adalah A. amazonense, yang diisolasi dan dideskripsi pada tahun 1983 dari tanaman rumput yang ditanam di daerah Amazon. Spesies ini juga berasosiasi dengan tanaman padi, jagung, dan sorgum serta tanaman rumput lainnya yang tumbuh di bagian Selatan Tengah Brasil.
Spesies yang keempat adalah A. halopraeferans. Spesies ini diisolasi dari rumput kallar (Leptochloa fusca), yang tumbuh di daerah salin di Pakistan dan kelihatannya spesifik pada tanaman tersebut, karena upaya untuk mengisolasi A. halopraeferans dari tanaman lain yang tumbuh di Brasil tidak berhasil. Berikut, spesies baru berhasil diisolasi dari tanaman padi di Irak. Spesies ini diberi nama A. irakense. Walaupun spesies ini belum ada dilaporkan diisolasi dari tanaman lain dan dari negara lain, tetapi spesies ini benar Azospirillum spesies baru. Berikutnya, pada tahun 1997, ditemukan spesies lain dari Conglomeromonas largomobilis subsp. largomobilis yang mirip dengan spesies A. lipoferum dan A. brasilense, tetapi secara nyata cukup berbeda. Spesies ini diberi nama A. largimobile.
Kelompok baru dari spesies Azospirillum terus ditemukan di seluruh dunia. Pada tahun 2001, di Brasil ditemukan spesies baru oleh ilmuwan Brasil Johanna Dobereiner. Untuk menghargai beliau, spesies ini diberi nama A. dobereinerae. Spesies lainnya diisolasi dari tanah pertanaman padi di China pada tahun 1982 dan diberi nama A. oryzae. Kemudian, spesies lain ditemukan dari akar dan batang tanaman Melinis minutiflora Beauv, sehingga diberi nama A. melinis. Pada tahun 2007, dengan menggunakan media semisolid pada pH 7,2 – 7,4, ditemukan dua spesies baru lagi di Kanada, yang diberi nama A. canadense dan A. zeae.
Satu spesies baru berhasil diisolasi dari tanah yang terkontaminasi minyak oleh peneliti Taiwan yang menggunakan nutrisi agar. Spesies tersebut diberi nama A. rugosum. Pada tahun 2009, dua spesies baru berhasil ditemukan lagi, yaitu A. palatum dan A. picis. A. palatum diisolasi dari tanah di China dan A. picis di Taiwan. Terakhir, spesies baru A. thiophilum diisolasi dari Rusia. Walaupun spesies ini memiliki hubungan yang erat dengan spesies Azospirillum lainnya, tetapi spesies ini mampu tumbuh sebagai miksotropik pada kondisi yang mikroaerobik.
Tabel 1. Spesies Azospirillum dan pola penggunaan sumber karbonnya (Reis et al. 2011)
Simbol: + (positif), – (negatif), v (variabel atau tidak konsisten), nd (not determined)
Isolasi Azospirillum spp.
Menurut Eckert et al. (2001) isolasi Azospirillum spp. dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. Akar tanaman tertentu dan tanah rhizosfer diambil dari lapangan di mana tanaman tersebut telah tumbuh lama di sana. Akar-akar tanaman dicuci dengan air steril dan kemudian digerus dalam larutan sukrosa 4% dengan menggunakan mortar dan pastel. Wadah kecil (sekitar 10 ml) yang mengandung 5 ml medium NFb semi-solid bebas nitrogen diinokulasi dengan larutan berseri dari gerusan akar atau suspensi tanah rhizosfer.
Komposisi medium NFb adalah sebagai berikut (L-1): malat (5,0 g), K2HPO4 (0,5 g), MgSO4.7H2O (0,2 g), NaCl (0,1 g), CaCl2.2H2) (0,02 g), bromothymol blue 0,5% dalam KOH 0,2 M (2 mL), larutan vitamin filter steril (1 mL), larutan hara mikro filter steril (2 mL), 1,64 % larutan FeEDTA (4 mL), KOH (4,5 g). Keasaman (pH) disesuaikan menjadi 6,5 dan 1,8 gL-1 agar ditambahkan.
Larutan vitamin (dalam 100 mL) mengandung biotin (10 mg) dan pyridoxol-HCl (20 mg) dilarutkan pada 100 ⁰C dalam water bath. Larutan hara mikro terdiri dari bahan-bahan sebagai berikut (L-1):CuSO4.5H2O (40 mg), ZnSO4.7H2O (0,12 g), H2BO3 (1,4 g), Na2MO4.2H2O (1,0 g), MnSO4.H2O (1,175 g.
Setelah inkubasi 3 – 5 hari pada suhu 30 ⁰C, satu lup kultur ditransfer ke dalam medium semi-solid segar. Pemurnian lebih lanjut dilakukan pada NFb (diberi suplemen 50 mg ekstrak ragi per liter) dan medium DYGS setengah konsentrasi pada media agar. Kultur ini dipelihara pada medium DYGS setengah konsentrasi yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut (L-1): glukosa (1,0 g), malat (1,0 g), ekstrak ragi (2,0 g), pepton (1,5 g), MgSO4.7H2O (0,5 g), L-asam glutamat (1,5 g) dan pH disesuaikan menjadi 6,0.
Perilaku Azospirillum
Pertama sekali, bakteri ini mengolonisasi rhizosfer. Pelekatan pada sistem akar dimediasi oleh flagella dan setelah beberapa lama diikuti oleh penyatuan yang tidak dapat balik. Gambar 1 memperlihatkan model kolonisasi yang diusulkan oleh Steenhoudt and Vanderleyden. Flagella lateral tidak esensial pada fase penyerapan proses kolonisasi. Akan tetapi, bagaimanakah prilaku populasi bakteri pada sistem akar tanam ? masih tanda tanya. Apakah quorum sensing (QS) terlibat dalam proses? QS pernah terlihat mengatur pergerakan pada bermacam bakteri, khususnya Serratia (Reis et al., 2011)
Pelekatan yang kuat dari Azospirillum pada akar tanaman merupakan faktor penting bagi asosiasi jangka panjang dengan akar tanaman. Ini dikarenakan tiga hal. Pertama, jika bakteri tidak melekat pada sel epidermis akar, maka senyawa-senyawa yang diekskresi oleh bakteri akan berdifusi ke daerah rhizosfer dan nutrisinya dikonsumsi oleh mikroorganisme lainnya sebelum mencapai tanaman. Ketika bakteri melekat pada akar, maka sebagian dari senyawa-senyawa tersebut akan berdifusi ke dalam ruang interseluler korteks akar. Kedua, tanpa pelekatan yang kuat, air dapat mengangkut bakteri sehingga menjauh dari daerah rhizosplan dan hidup sekarat di lingkungan tanah yang miskin unsur hara. Azospirillum pada umumnya hidup menderita pada kebanyakan tanah tanpa tanaman inang. Ketiga, daerah asosiasi pada akar tanpa Azospirillum melekat kuat menjadi rentan dari koloni lain yang agresif yang mungkin merugikan (Bashan dan Holguin, 1997).
Belakangan diketaui bahwa sel-sel Azospirillum tidak terpencar oleh air perkolasi, tetapi terjerap ke dalam partikel tanah. Pada tanah jenuh air tanpa tanaman, Azospirillum tetap berada pada daerah inokulasi dan tidak bergerak. Oleh karenanya, masuk akal untuk berasumsi bahwa ada mekanisme penyebaran bakteri lain yang efisien, misalnya kemotaksis (Bashan dan Holguin, 1997).
Gambar 1. Azospirillum melekat pada akar tanaman (Bashan dan Holguin, 1997).
Pada kondisi tercekam, bakteri ini mampu membentuk cyst dan floc (agregat makro). Kedua bentuk tersebut meningkatkan daya hidup bakteri. Fenomena ini dapat terjadi akibat umur, kondisi kultur, metal beracun, atau cekaman air. Bentuk cyst Azospirillum brasilensis, yang awalnya dianggap dorman, dijumpai secara fisiologis aktif. Cyst ini mampu mengikat nitrogen tanpa kehadiran sumber karbon luar. Pada kultur yang terus menerus dan kondisi anaerobik, sel cyst Azospirillum brasilense SP-7 dan Sp-245 memperlihatkan aktivitas enzim nitrat reduktase (Cassa´n, 2011).
Mekanisme Azospirillum dalam Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman
Mekanisme pertama yang diusulkan terhadap pemacuan pertumbuhan tanaman oleh Azospirillum hampir sepenuhnya terkait dengan status nitrogen dalam tanaman, melalui fiksasi biologi atau aktivitas enzim reduktase nitrat. Akan tetapi, mekanisme ini kenyataannya kurang berarti dari sisi agronomi dari yang pernah diharapkan. Dengan demikian, mekanisme lain telah dipelajari dan diusulkan untuk genus mikroba ini, antara lain produksi siderophore, pelarutan fosfat, biokontrol fitopatogen, dan proteksi tanaman terhadap cekaman, seperti salinitas tanah, atau senyawa beracun.
Bashan dan Hulguin (1997) mengusulkan hipotesis aditif terhadap mekanisme Azospirillum dalam memacu pertumbuhan tanaman. Mereka menyatakan bahwa kemungkinan lebih dari satu mekanisme yang terlibat pada waktu yang sama. Sebagai contoh, fiksasi N2 berkontribusi kurang dari 5% dari pengaruh Azospirillum pada tanaman. Ini tidak dapat menjelaskan secara penuh peningkatan hasil tanaman. Ketika dikombinasikan dengan pengaruh mekanisme lainnya, kontribusi yang kecil ini dapat menjadi kontribusi yang berarti. Dengan demikian, aktivitas gabungan dari semua mekanisme yang terlibat bertanggung jawab bagi pengaruh yang besar dari inokulasi Azospirillum pada pertumbuhan tanaman.
Reis et al. (2011) menyatakan bahwa Azospirillum spp mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui banyak mekanisme. Ini termasuk fiksasi N2, produksi fitohormon (seperti auksin, sitokinin, dan giberelin), peningkatan penyerapan hara, peningkatan ketahanan cekaman, produksi vitamin, siderophore dan biokontrol, serta pelarutan P.
Namun demikian, salah satu mekanisme yang paling penting adalah kemampuan Azospirillum menghasilkan fitohormon dan ZPT lainnya. Salah satu mekanisme utama yang diusulkan untuk menjelaskan “hipotesis aditif” adalah terkait dengan kemampuan Azospirillum sp. menghasilkan senyawa-senyawa seperti fitohormon. Telah dikenal bahwa sekitar 80% bakteri yang diisolasi dari rhizosfer tanaman mampu memproduksi senyawa IAA. Kemudian, diusulkan bahwa Azospirillum sp. dapat memacu pertumbuhan tanaman melalui ekskresi fitohormon. Saat ini, kita tahu bahwa bakteri ini mampu menghasilkan senyawa-senyawa kimia seperti auksin, sitokinin, giberelin, etilen, dan ZPT lainnya seperti ABA, poliamin (spermidin, spermin, dan cadaverin) dan nitrat oksida (Cassa’n et al., 2011).
Fiksasi nitrogen adalah mekanisme pertama yang diusulkan untuk menjelaskan peningkatan pertumbuhan tanaman setelah diinokulasi dengan Azospirillum. Ini terutama karena ada peningkatan sejumlah senyawa nitrogen dan aktivitas enzim nitrogenase pada tanaman yang diinokulasi dengan Azospirillum. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, penelitian menunjukkan bahwa kontribusi fiksasi N2 oleh Azospirillum terhadap tanaman sedikit sekali, berkisar antara 5 sampai 18% dari total peningkatan tanaman. Secara umum, kontribusinya kurang dari 5%. Azospirillum mutan-Nif juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman sama dengan tipe liarnya. Penemuan ini hampir saja membuat orang meninggalkan aspek fiksasi N2 ini dari Azospirillum, kecuali hanya untuk kajian genetik murni. Akhir-akhir ini, interes terhadap kajian Azospirillum pada aspek fiksasi N2 mulai meningkat. Ditemukan bahwa A. brasilense Sp-7 tidak menyintesis enzim nitrogenase pada suhu 42⁰C dan juga enzim ini tidak stabil pada suhu tersebut. Akan tetapi, pada A. brasilense Sp-9, aktivitas enzim nitrogenase stabil dan menunjukkan aktivitas asetilen reduksi tertinggi pada suhu 42⁰C. Aktivitas enzim nitrogenase Azospirillum ditemukan meningkat ketika ditumbuhkan dalam kultur campuran dengan bakteri lainnya, kendatipun mereka berasal dari habitat yang sangat berbeda. Contoh kasus adalah campuran A. brasilense Cd dengan bakteri Staphylococcus sp. yang meningkatkan fiksasi N2 dari A. brasilense. Pengaruhnya lebih kuat ketika supernatan Staphylococcus ditambahkan pada kultur A. brasilense. Pada kajian lain, fiksasi N2 dari A. brasilense Sp-245 diperkuat oleh penambahan aglutinin kecambah gandum.
Bashan dan Holguin (1997) menyatakan bahwa Azospirillum bisa jadi mempengaruhi tanaman dengan cara memberikan signal kepada tanaman inang. Adanya kenyataan bahwa Azospirillum mempengaruhi metabolisme sel tanaman dari luar sel mengindikasikan bahwa bakteri ini mampu mengekskresi dan memancarkan signal yang melewati dinding sel tanaman dan ditangkap oleh membran tanaman. Interaksi ini menginisiasi rantai peristiwa yang menghasilkan perubahan metabolisme pada tanaman yang diinokulasi. Karena membran tanaman sangat sensitif terhadap perubahan, maka responsnya dapat menjadi petunjuk akan adanya kegiatan Azospirillum pada tingkat seluler.
Selain itu, meningkatnya penyerapan hara mineral pada tanaman sebagai akibat dari inokulasi Azospirillum juga merupakan penjelasan yang populer bagi pengaruh inokulasi pada tahun 1980an. Kendatipun, beberapa kajian ada yang menunjukkan akumulasi nitrogen dan hara mineral lainnya pada tanaman yang diinokulasi, tetapi sebagian penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan tanaman tidak mesti karena peningkatan penyerapan hara. Pada saat ini, jalan penjelasan ini agak kurang berkembang.
Azospirillum dapat juga berperan sebagai agen biokontrol terhadap patogen tanaman dalam tanah. Ada beberapa bukti yang mendukungnya. Azospirillum lipoferum M menghasilkan catechol siderophores pada kondisi kekurangan besi, yang menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap beberapa isolat bakteri dan jamur. Contoh lain, dua puluh isolat Azospirillum ditemukan menghasilkan bakteriosin yang menghambat pertumbuhan beberapa bakteri. Namun demikian, ada juga penelitian yang melaporkan bahwa beberapa strain Azospirillum tidak menghasilkan senyawa anti patogen.
Koinokulasi dengan mikroorganisme lain
Azospirillum dapat bersinergi dengan mikroorganisme lain. Koinokulasi didasarkan pada campuran inokulan berupa kombinasi beberapa mikroorganisme yang berinteraksi secara sinergi, atau ketika Azospirillum berfungsi sebagai bakteri “pembantu” untuk memperkuat penampilan mikroorganisme berguna lainnya.
Azospirillum dapat berasosiasi dengan bakteri perombak gula atau polisakarida. Kokultur dapat dianggap sebagai suatu asosiasi metabolik di mana bakteri perombak gula menghasilkan produk rombakan atau fermentasi yang dapat digunakan oleh Azospirillum. Pada kokultur Bacillus dan Azospirillum, rombakan pektin oleh Bacillus dan fiksasi N2 oleh Azospirillum menjadi meningkat. Kokultur A. brasilense dengan Enterobacter cloaceae atau A. brasilense dengan Arthrobacter giacomelloi menghasilkan fiksasi N2 yang lebih efisien dibanding bila mereka sendiri-sendiri. Ketika Azospirillum sp DN64 dikoinokulasi dengan campuran jamur selulotik, aktivitas nitrogenasenya meningkat 22 kali lipat
Dual inokulasi tanaman legum dengan Azospirillum dan Rhizobium ditemukan meningkatkan beberapa peubah pertumbuhan tanaman dibanding dengan inokulasi tunggal. Azospirillum dianggap sebagai pembantu Rhizobium dengan cara menstimulasi nodulasi, fungsi nodulasi, dan kemungkinan metabolisme tanaman. Fitohormon yang dihasilkan oleh Azospirillum memacu diferensiasi sel epidermis pada rambut akar yang kemudian meningkatkan jumlah tempat-tempat yang berpotensi bagi infeksi Rhizobium. Hasilnya, lebih banyak nodul terbentuk. Pada percobaan lapangan, inokulasi kultur campuran Azospirillum dengan Rhizobium secara nyata meningkatkan jumlah total nodul, berat kering nodul, dan jerami, serta memberikan peningkatan hasil biji. Interaksi ini lebih jauh diperkuat oleh adanya bahan organik pada media tumbuh tanaman ((Cassa´n, 2011).
Interaksi Azospirillum dengan Bahan Organik
Menurut Bashan (1999), bahan organik memberikan pengaruh yang beragam terhadap Azospirillum, bisa positif, tapi juga bisa negatif. Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa amandemen tanah dengan bahan organik meningkatkan jerapan dan daya hidup Azospirillum spp. Akan tetapi, ada juga bukti di lapangan bahwa pengaruh bahan organik terhadap Azospirillum spp. di dalam tanah kontradiktif dengan hasil penemuan di laboratorium.
Di India, pemberian bahan organik pada tanah kebun hanya mendukung populasi A. brasilense secara terbatas. Pada penelitian lain, pemberian bahan organik pada tanah dan arang awalnya saja meningkatkan populasi A. brasilense spp., tetapi populasinya kemudian menurun ke taraf yang setara dengan tanpa bahan organis. Di Amerika Serikat, daya hidup A. brasilense dalam bahan pembawa peat dan pasir dimonitor dengan seksama. Hasilnya, awalnya populasi menurun, kemudian populasinya tetap stabil selama 60 hari. Bahan pembawa dengan kandungan peat tertinggi (1-3%) memiliki populasi A. brasilense tertinggi. Di India, penambahan jerami padi pada tanah sawah meningkatkan Azospirillum spp. Bashan dan Vazquez (2000) menemukan bahwa, sementara CaCO3 dan pasir berpengaruh negatif, bahan organik memiliki pengaruh positif terhadap daya hidup Azospirillum spp.
Namun demikian secara umum, bahan organik memberikan pengaruh yang baik bagi daya hidup dan persistensi Azospirillum dalam tanah. Teori terhadap pengaruh negatif bahan organik bisa jadi bahwa pada bahan organik konsentrasi tinggi, total jumlah bakteri dalam tanah telah mencapai 107 – 108 spk per g sehingga bakteri lain berkompetisi dengan Azospirillum yang diinokulasi dalam tanah. Penjelasan lain, bahan organik mungkin telah memberikan hara yang cukup banyak pada tanaman sehingga pengaruh inokulasi bakteri menjadi tertutupi.
Aplikasi Azospirillum di Bidang Pertanian
Aplikasi Azosprillum dibidang pertanian masih sangat terbatas. Di banyak Negara aplikasi Azospirillum masih dalam skala kecil . Namun demikian, di beberapa negara di Amerika Latin, Azospirillum telah mulai digunakan secara komersial dan dalam skala yang luas. Berikut Bashan dan Holguin (1997) dan Reis et al. (2011) menjelaskan perkembangan aplikasi Azospirillum di beberapa belahan dunia,
Inokulum Azospirillum generasi pertama dalam skala kecil diintroduksi secara perlahan kepada pasar pertanian. Faktor utama yang menghalangi introduksi Azospirillum dalam skala besar adalah hasil yang tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi. Kelemahan ini telah diketahui sejak awal dari aplikasi Azospirillum dan menyurutkan minat dari pengguna komersial. Dua puluh tahun evaluasi dari data percobaan lapangan menunjukkan bahwa 60 – 70 % dari seluruh percobaan berhasil dengan peningkatan hasil yang nyata, berkisar antara 5 sampai 30%. Faktor keberhasilan utama adalah aplikasi sel hidup secara hati-hati dan perawatan percobaan dengan benar. Sel-sel bakteri haruslah diambil dari fase eksponen, bukan dari inokulum pada fase stasioner. Walaupun, inokulasi lapangan belum menjadi area utama dari penelitian Azospirillum saat ini, beberapa percobaan lapangan dan rumah kaca akhir-akhir ini, khususnya pada sereal, sekali lagi menunjukkan potensial yang menjanjikan (Bashan dan Holguin, 1997).
Menurut Reis et al. (2011) pemanfaatan bakteri sebagai produk inokulum merupakan tujuan yang ideal, berdasarkan penampilan inokulan Rhizobium, khususnya di Brasil, di mana 100 persen produksi menggunakan bakteri dan bukan pupuk untuk mendapatkan 100 persen N yang dibutuhkan bagi hara tanaman. Setelah percobaan yang begitu lama, mengisolasi dan mendeskripsi Azospirillum, akhirnya beberapa upaya juga dilakukan untuk mendapatkan produk komersial yang menggunakan bakteri ini.
Teknologi ini juga didasarkan pada produk Rhizobium yang diaplikasikan pada penyelubung benih dalam campuran dengan peat atau menggunakan bermacam formulasi larutan yang berbeda. Pada mulanya, hanya A. brasilense dipilih sebagai inokulan. Di Amerika Serikat, satu produk yang disebut Azo-GreenTM, yang diproduksi oleh perusahaan yang bernama Genesis Turfs Forages, direkomendasikan diberikan pada benih untuk meningkatkan perkecambahan, sistem akar, tahan kekeringan, dan kesehatan tanaman. Di Italia, Jerman, dan Belgia, produk lain yang mengandung campuran A. brasilense (strain Cd) dan A. lipoferum (strain Br17) diformulasikan dalam campuran vermikulit atau formula larutan. Nama komersialnya adalah Zea-NitTM dan diproduksi oleh Heligenetics dan mereka merekomendasikan pengurangan 30 – 40 % pupuk N bagi tanaman. Di Prancis, AzoGreenTM lain digunakan pada jagung dengan kenaikan hasil 100%.
Di Meksiko, satu produk yang bernama “Fertilizer for Maize” dikembangkan oleh Universitas Puebla dan diaplikasikan pada 5000 ha lahan pada tahun 1993. Lebih baru lagi, pada tahun 2008, produk inokulan lain yang berbasis Azospirillum dikembangkan untuk tanaman kopi di Meksiko dan aplikasinya menunjukkan adanya penurunan waktu siklus penologi tanaman. Uruguay juga mempunyai produk yang diberi nama GraminanteTM yang dikomersialkan dalam bentuk tepung yang dicampur dengan kalsium karbonat.
Terkait dengan spesies dan strain bakteri yang digunakan, yang berbeda di tiap Negara, pertanyaannya mengapa spesies tersebut merupakan yang terbaik?. Hasil evaluasi ternyata bahwa kedua spesies dan strain yang digunakan menunjukkan hasil yang negatif pada produksi siderophore dan pelarut fosfat. Hasil positif ada produksi fitohormon IAA, sitokinin (zeatin), GA3, etilen, putrescine, spermidin, spermin, dan cadaverin. Kenyataan ini memiliki implikasi teknologi yang penting terhadap formulasi inokulan, karena strain yang berbeda menghasilkan konsentrasi zat pertumbuhan tanaman (ZPT) yang berbeda.
Selain itu, penting juga untuk mempertahankan kualitas inokulan agar memberikan kolonisasi atau invasi akar yang efisien. Penting untuk menyesuaikan densitas sel (minimum 109 per gram) hidup, bebas kontaminan, dan secara agronomi terbukti strain yang diberikan mampu memberikan hasil tanpa atau dengan dosis rendah pupuk nitrogen atau meningkatkan hasil bersama pupuk nitrogen.
Pada tahun 2009, satu perusahaan di Brasil menjual produk berbahan Azospirillum untuk diaplikasikan pada jagung dan padi. Di Argentina, ada beberapa perusahaan yang menghasilkan dan menjual inokulan berbahan A. brasilense yang diaplikasikan dalam bentuk solid (tepung) atau formula cair pada tanaman komersial yang berbeda (seperti padi, jagung, gandum, bunga matahari, sorgum, dsb.). Sekarang ini, dengan realitas untuk menghasilkan lebih banyak pangan dengan biaya yang lebih sedikit, dan tanpa polusi lingkungan, maka pemupukan dengan pupuk hayati merupakan alternatif bagi pertanian yang berkelanjutan.
Walaupun keuntungan dari inokulasi dengan Azospirillum sp. telah dijelaskan panjang lebar, upaya untuk mengisolasi strain baru dan mengevaluasi karakteristik terhadap pemacu pertumbuhan tanaman dalam lingkungan yang alami haruslah terus dilakukan untuk mendukung penggunaannya di bidang pertanian sebagai inokulan atau pupuk hayati.
DAFTAR PUSTAKA
Aeron, A., S. Kumar, P. Pandey, and D.K. Maheshwari. 2011. Emerging Role of Plant Growth Promoting Rhizobacteria in Agrobiology. Pp 1 – 36. In Bacteria in Agrobiology: Crop Ecosystems. D.K. Maheshwari (ed.), DOI 10.1007/978-3-642-18357-7_1, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Bashan, Y. 1999. Interactions of Azospirillum spp. in soils: a review. Biol Fertil Soils (1999) 29: 246–256 Q Springer-Verlag.
Bashan, Y. and G. Holguin. 1997. Azospirillum-plant relationships: environmental and physiological advances (1990-1996). Can. J. Microbiol. Vol. 43, 1997 : 103 – 121. NRC Canada
Bashan, Y. and P. Vazquez. 2000. Effect of calcium carbonate, sand, and organic matter levels on mortality of five species of Azospirillum in natural and artificial bulk soils. Biol Fertil Soils 30:450–459 Q Springer-Verlag.
Cassa´n, F., D. Perrig, V. Sgroy, and V. Luna. 2011. Basic and Technological Aspects of Phytohormone Production by Microorganisms: Azospirillum sp. as a Model of Plant Growth Promoting Rhizobacteria. In Bacteria in Agrobiology: Plant Nutrient Management. D.K. Maheshwari (ed.). DOI 10.1007/978-3-642-21061-7_7, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Cummings, S. P. and C. Orr. 2010. The Role of Plant Growth Promoting Rhizobacteria in Sustainable and Low-Input Graminaceous Crop Production. In Plant Growth and Health Promoting Bacteria. D.K. Maheshwari (ed.). Microbiology Monographs 18, DOI 10.1007/978-3-642-13612-2_13, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Eckert, B., O. B. Weber, G. Kirchhof, A. Halbritter, M. Stoffels, and A. Hartmann. 2001. Azospirillum doebereinerae sp. nov., a nitrogen-fixing bacterium associated with the C4-grass Miscanthus. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology 51, 17–26. Great Britain.
Hanafiah, A. S., T. Sabrina, dan H. Guchi. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Uviversitas Sumatera Utara. 409 hlm.
Holguin, G., C. L. Patten, and B. R. Glick. 1999. Genetics and molecular biology of Azospirillum. Biol Fertil Soils 29: 10–23 Q Springer-Verlag.
Reis, V. M., K.R. d. S. Teixeira, and R. O. Pedraza. 2011. What Is Expected from the Genus Azospirillum as a Plant Growth-Promoting Bacteria? In Bacteria in Agrobiology: Plant Growth Responses. D.K. Maheshwari (ed.). DOI 10.1007/978-3-642-20332-9_6, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Sumber : http://emhatta.wordpress.com/2013/04/20/azospirillum-bakteri-pupuk-hayati/
Artikel/Berita Pertanian Lainnya :