06
Jan
2015
No Comments
Petani asal Desa Parakan Salak, Kecamatan Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat itu dibantu beberapa orang buruh tani yang tak lagi muda dengan semangat merontokkan bulir-bulir gabah dengan cara “gepyokan” (memukulkan rumpun batang padi yang telah dipotong ke batu atau kayu hingga bulir gabah terlepas). Varietas yang ditanamnya adalah Ciherang.
Sebagai petani yang menekuni profesi secara turun-temurun, Adi mengaku memakai metode sederhana dalam menggarap sawahnya. Hanya berbekal cangkul tanpa traktor, apalagi peralatan canggih lainnya karena terkendala biaya sewa yang mahal. Belum lagi harga bibit, benih, dan pupuk yang kian melambung.
Beban pria berkulit sawo matang ini kian bertambah ketika harus mengeluarkan biaya hingga Rp 8 juta per musim tanam. Modal sedemikian besar itu tak jarang harus dipinjam dari tengkulak. Tiada akses kredit lunak perbankan yang menyentuhnya.
Solusi Kesuburan Tanah
Persoalan lain yang petani hadapi kini adalah makin kritisnya kondisi lahan pertanian dengan berkurangnya kesuburan tanah. Teknologi untuk meningkatkan kesuburan tanah sebenarnya sudah ada yaitu dengan menggunakan pupuk berteknologi asam humat. Teknologi ini telah dipakai dalam program Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) yaitu Speklok.
Speklok atau Spesifik Lokasi adalah bantuan Ristek untuk mengatasi kesuburan tanah yang tergantung kondisi daerah. Untuk kegiatan tersebut Ristek menggandeng PT. Global Growth untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian.
Afri Chandra, Technical Support Manager PT. Global Growth mengatakan, bersama tim pihaknya membantu petani dengan memberikan pendampingan dan pemupukan selama satu musim tanam. Humika merupakan produk pupuk berteknologi asam humat yang diperkenalkan ke petani.
Pendampingan dari PT. Global Growth mulai dari perendaman benih, persiapan lahan, persisnya adalah sebelum tanam, serta setelah lahan siap tanam. Setelah itu pemupukan dan pemeliharaan tanaman. Pilihan varietas dan pestisida diserahkan kepada petani.
Penggunaannya pun terbilang efisien. Sebagai contoh lahan 9.000 m2 milik Adi, dengan 1,5 kg mampu menghemat pemakaian pupuk kimia 20% hingga 30%. Hasil 6,9 ton gabah dengan harga Rp 3.500 per kg, setelah dipotong ongkos produksi Rp 8 juta, maka keuntungan yang berhasil didapat Adi sekitar Rp 16 juta.
Bukan hanya menghemat pupuk, penggunaan teknologi asam humat juga mampu mendongkrak produktifitas tanaman padi. Hasil panen pada musim ini mencapai 6,9 ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat lebih dari 30%. Sebuah peningkatan cukup signifikan dibandingkan musim tanam sebelumnya yang hanya sekitar 4 ton GKG.
Afri menjelaskan, Asam humat secara kimiawi mengandung gugus aktif yang banyak. Sehingga penyerapan dan penguraian pupuk dalam tanah lebih efektif. Itu utamanya. Jadi jika diibaratkan ke petani, maka pupuk itu baru beras, belum bisa diserap langsung atau dimakan, harus “dimasak” dulu. Secara ilmiah yang memasak itu tanah.
“Tanah yang mengandung KTK (kapasitas tukar kation) yang tinggi, maka pupuk yang ditambahkan akan lebih efektif. Humika mempunyai gugus aktif yang banyak, sehingga pupuk yang ditambahkan lebih cepat “dimasak” dan mudah diserap tanaman,” kata Afri kepada Sinar Tani.
Saat ini menurut Afri, kondisi humus kian menipis. Pupuk anorganik yang terfiksasi (terikat) di dalam tanah semakin banyak. Dengan adanya Humika yang mengandung asam humat dan asam fulvat maka P dan K dalam tanah yang terfiksasi jadi terurai kembali.
Dukungan Pemda
Panen padi dengan menggunakan teknologi humat ini dihadiri Sekretaris Kecamatan Parakan Salak, Iman Sugiman, dan Kepala BP3K (Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) Kecamatan Parakan Salak, Cece Supyatna. Iman dan Cece mengapresiasi peningkatan hasil panen ini, dan berharap para petani lainnya di Parakan Salak bisa menghasilkan panen yang melimpah.
Iman Sugiman menjelaskan, Sukabumi, khususnya wilayah Parakan Salak, sangat subur untuk ditanami berbagai jenis tanaman pangan maupun hortikultura. Kawasan yang terletak di sekitar area Taman Nasional Halimun Salak ini tingginya sekitar 500–700 m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 19–29 derajat Celcius. Karena dikelilingi pegunungan, serta berkat koordinasi yang baik dari pemerintah daerah, sarana irigasi untuk lahan persawahan pun cukup memadai.
Cece Supyatna menambahkan, bahwa profesi petani masih banyak dijumpai di daerah ini, di tengah menurunnya minat para generasi muda untuk bertani. Wilayah binaan BP3K ini terdiri dari 6 desa, di dalamnya terdapat 47 kelompok tani.
Potensi lahan dan sumberdaya manusia yang menjanjikan ini menurut Cece akan lebih optimal bila ada bantuan berupa benih, pupuk, pestisida, dan alsintan dari pemerintah untuk meningkatkan produktifitas pertanian. Indri/Yul
http://m.tabloidsinartani.com/index.php?id=148&tx_ttnews[tt_news]=1574&cHash=03660e36587ce5719bb93aec22975ff0