11
Feb
2013
No Comments
Balai Penelitian Tanah (Balittanah) berhasil membuat formula pupuk khusus untuk lahan gambut. Selain dapat meningkatkan produktivitas lahan dan efisiensi pemupukan, Pugam mampu menekan laju emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya karbon dioksida, dan meningkatkan stabilitas gambut.
Indonesia memiliki lahan gambut tropis 18,6 juta ha, 6 juta ha di antaranya potensial untuk pertanian. Lahan gambut tergolong marginal dan rapuh sehingga pemanfaatannya harus hati-hati.
Lahan gambut juga dikenal memegang peran penting sebagai pengatur hidrologi dan penyimpan karbon dalam jumlah sangat besar, yang potensial menjadi sumber emisi karbon. Oleh karena itu, pemerhati lingkungan menghendaki agar ekosistem gambut dikonservasi untuk menghindari pemanasan global. Namun di lain pihak, petani dan pelaku pertanian di beberapa daerah sangat bergantung pada lahan gambut sebagai sumber kehidupan. Lahan gambut dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Saat ini 1,7 juta ha perkebunan kelapa sawit berada di lahan gambut yang produktivitasnya tidak kalah dengan lahan mineral. Oleh karena itu, harus ada win win solution agar dua kepentingan tersebut, yaitu aspek lingkungan dan ekonomi, dapat berjalan selaras.
Usaha memitigasi laju emisi GRK di lahan pertanian dapat dilakukan melalui pengembangan inovasi teknologi pengelolaan lahan, yang meliputi pengelolaan air, ameliorasi, dan pemupukan yang tepat. Tindakan yang sama juga ditujukan untuk memperbaiki pertumbuhan dan produktivitas tanaman di lahan gambut. Namun, sering kali teknologi yang baik untuk memperbaiki pertumbuhan dan produktivitas tanaman akan menghasilkan emisi GRK yang tinggi. Demikian pula, teknologi yang baik untuk menekan emisi GRK, berdampak buruk terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini sangat berkaitan dengan karakteristik gambut dan aktivitas mikroba perombak.
Tanah gambut memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan tanah mineral. Oleh karena itu, teknologi yang baik untuk tanah mineral, belum tentu baik untuk tanah gambut.
Demikian pula sebaliknya, perlakuan yang buruk untuk tanah mineral belum tentu buruk untuk tanah gambut.
Dengan mempelajari karakteristik yang khas dari tanah gambut dan menday agunakan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, Balai Penelitian Tanah di Bogor berhasil membuat formula pupuk yang spesifik untuk lahan gambut. Formula pupuk tersebut disebut “Pugam”, akronim dari pupuk gambut. Saat ini, dua formula Pugam, yaitu Pugam A dan Pugam T telah melewati pengujian di laboratorium, rumah kaca, dan di lapangan dengan hasil yang memuaskan.
Pugam A dan Pugam T adalah pupuk majemuk yang mengandung fosfat (P), magnesium (Mg), dan silikat (Si). Ketiga unsur ini sangat penting bagi tanaman. Selain tiga unsur tersebut, Pugam juga mengandung besi (Fe), aluminium (Al), seng (Zn), dan tembaga (Cu), unsur yang selain dibutuhkan tanaman juga penting untuk mengikat asamasam organik beracun agar tidak mengganggu pertumbuhan akar tanaman. Terikatnya asam-asam organik menjadi khelat membuat bahan organik lebih stabil dan emisi karbonnya berkurang.
Untuk memproduksi secara massal dan memasarkan Pugam, Balai Penelitian Tanah menjalin kerja sama dengan PT Polowijo Gosari dan PT Krakatau Steel. Pada tahap awal akan dibangun pabrik mini Pugam A berkapasitas 100.000 t/tahun. Pupuk Pugam diperuntukkan bagi tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Pasar potensial adalah perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada di lahan gambut, yang akhirakhir ini mendapat sorotan dunia internasional. Penggunaan pupuk Pugam diharapkan dapat meredam isu-isu lingkungan dalam kaitannya dengan pemanasan global.
Bahan Baku Pugam
Pugam A dibuat dengan memanfaatkan limbah industri baja PT Krakatau Steel (KS), yang berupa terak baja (slag). Saat ini PT KS menghasilkan sekitar 300.000 ton terak baja per tahun yang pemanfaatannya masih sangat terbatas karena tergolong limbah B3. Produksi slag bisa meningkat menjadi 600.000 t/tahun bila PT KS berproduksi sesuai kapasitas terpasangnya. Bila slag dimanfaatkan sebagai bahan baku Pugam, hal ini akan membantu beban perusahaan dalam mengelola limbahnya.
Bahan baku lainnya adalah fosfat alam grade C yang mengandung sesquioksida (oksida Fe dan Al) tinggi. Fosfat alam ini mengandung hara fosfat cukup tinggi (> 28%), tetapi tergolong kualitas rendah sehingga harganya lebih murah. Jenis fosfat alam ini banyak ditemukan di Christmas Island sehingga disebut CIRP. Bahan baku lainya seperti dolomit banyak tersedia di Indonesia. Semua bahan dicampur dan dibentuk granul sehingga mudah diaplikasikan.
Efektivitas Pugam
Pugam mengandung hara P, Ca, Mg, Si, unsur mikro, dan kation polivalen. Pugam memiliki sifat higroskopis rendah sehingga dapat disimpan di tempat terbuka dalam waktu lama, tanpa mengalami perubahan fisik.
Efektivitas Pugam dalam menekan emisi GRK dan pencucian hara diuji di rumah kaca dengan menggunakan pot yang diisi gambut ombrogen. Dosis pemupukan Pugam setara dengan 90 kg P2O5/ha mampu menekan emisi GRK 47%. Hal ini karena asam-asam organik monomer saling berikatan melalui jembatan kation polivalen sehingga tidak mudah mengalami degradasi. Pupuk konvensional bisa memicu aktivitas mikroba sehingga memicu dekomposisi dan emisi gas rumah kaca. Pugam juga mampu menekan pencucian hara P karena bersifat lepas lambat (slow release ) dan membentuk muatan positif pada kation polivalen yang mengikat ion fosfat sehingga tidak mudah tercuci. Jumlah hara yang tercuci jika menggunakan pupuk SP36 20 kali lebih besar dibandingkan dengan P u g a m .
Percobaan menggunakan tanaman jagung di rumah kaca menunjukkanPugam berpengaruh sangat signifikan. Biomassa kering tanaman jagung meningkat lebih dari 30 kali lipat dibandingkan dengan menggunakan pupuk NPK konvensional. Bila menggunakan pupuk konvensional (urea, SP36, dan KCl), tanaman jagung tidak berkembang dan menunjukkan defisiensi hara yang parah, baik N, P maupun K. Dosis optimum pupuk Pugam untuk tanaman jagung adalah 600-725 kg/ha.
Serapan hara N, P, K, Ca, Mg, dan S juga meningkat tajam sebagai akibat membaiknya media perakaran tanaman. Hal ini juga terlihat dari biomassa akar yang meningkat sangat signifikan dengan perlakuan P u g a m .
Gambut tropis mengandung asam-asam organik fenolat yang beracun bagi tanaman. Pugam dalam hal ini berfungsi sebagai amelioran. Kation-kation polivalen yang ada dalam Pugam akan mengkompleks asam-asam organik beracun tersebut dengan membentuk khelat yang tidak beracun dan tidak mudah diuraikan oleh mikroorgan i s m e .
Pengujian pada tanaman kacang tanah yang ditanam setelah tanaman jagung, juga menunjukkan Pugam lebih unggul dibandingkan pupuk konvensional. Dengan pupuk NPK konvensional, tanaman kacang tanah tidak dapat membentuk polong (steril), sedangkan bila dipupuk Pugam, tanaman dapat membentuk polong cukup banyak. Sebagian besar polong berisi penuh dan hanya sebagian kecil yang hampa. Pada saat panen, daun masih terlihat hijau sehingga potensial untuk pakan ternak
Pengujian efektivitas Pugam di lapangan telah dilakukan di empat provinsi melalui kegiatan Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) sektor pertanian, yaitu di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jambi. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian Pugam mampu mengurangi emisi CO2 antara 20-30%. Pugam yang diaplikasikan pada tanaman sela jagung di perkebunan karet dan kelapa sawit mampu meningkatkan hasil jagung secara signifikan. Pada tanaman pokok kelapa sawit umur tiga tahun, aplikasi Pugam meningkatkan produksi tandan buah segar. Pada perlakuan kontrol, tandan buah tidak bisa membentuk buah karena kemungkinan bunga jantan steril. Dengan aplikasi Pugam, tandan buah berhasil membentuk
buah dengan baik (I G.M. S u b i k s a ) .
Informasi lebih lanjut hubungi:
Balai Penelitian Tanah
Jalan Tentara Pelajar No. 12
Bogor 16114
T e l e p o n : ( 0 2 5 1 ) 8 3 2 3 0 1 2
8 3 3 6 7 5 7
F a k s i m i l e : (0251) 8321608
E – m a i l :
b a l i t t a n a h @ l i t b a n g . d e p t a n . g o . i d
i g m _ s u b i k s a @ y a h o o . c o . i d
Sumber :
http://pustaka.litbang.deptan.go.id