27
May
2013
No Comments
B Josie Susilo Hardianto
Tanah adalah ibu. Ia memberi jaminan kehidupan, sebagaimana ibu menghidupi anaknya melalui susu yang dihasilkan dari payudaranya. Masyarakat Papua percaya, jika tanah dijual, mereka akan menjadi lumpuh, kehilangan daya hidup dan masa depan.
Masuk ke dalam kampung-kampung di sekitar Arso Kota, Kabupaten Keerom, kita dapat dengan mudah menemukan rumah masyarakat asli telah dibangun permanen. ”Namun, itu tidak menunjukkan kenyataan sebenarnya. Dari luar memang tampak baik, tetapi sebenarnya kami kesulitan menghidupi keluarga,” kata seorang petani, Agus Bawir.
Dengan jujur Agus mengatakan, rumah-rumah itu sebenarnya tidak dibangun atas jerih payah kerja mereka. Agus mengatakan, rumah itu dibangun dari hasil penjualan atau menyewakan kebun plasma kelapa sawit yang mereka miliki. Itu dilakukan bukan karena kebun itu tidak menghasilkan, tetapi karena masyarakat asli tidak sanggup mengikuti pola kerja industri yang berbasis perkebunan rakyat tersebut.
Program PIR
Mulanya pada awal tahun 1980-an ketika pemerintah mengembangkan program perkebunan inti rakyat (PIR) dan menyelaraskannya dengan program transmigrasi di wilayah tersebut. Ternyata, dampak sosial program itu sungguh tak terduga.
Masyarakat asli kebingungan dan tergopoh-gopoh mengikuti perubahan yang cepat itu. Mereka tiba-tiba dihadapkan pada peralihan pola hidup, dari meramu menjadi pola industri yang berbasis perkebunan rakyat yang sebenarnya asing bagi mereka.
Sebenarnya, kala itu, masyarakat asli enggan menyerahkan tanah mereka untuk diubah menjadi perkebunan dengan pola PIR. ”Namun, karena takut dicap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), kami terpaksa menyerahkannya. Puluhan hektar hutan dibuka, pohon-pohon sagu dan kayu ditebang,” kata Bernard Nouyagir, Kepala Kampung Arso Kota, Kabupaten Keerom.
Hutan kayu dan sagu yang sebelumnya menjadi basis hidup mereka tiba-tiba lenyap dan berganti menjadi kebun kelapa sawit. Reproduksi pangan seperti umbi-umbian dan sayur-mayur mulai sulit dilakukan, binatang buruan sulit didapat.
Gegar budaya
Hutan yang menjadi basis kehidupan mereka perlahan-lahan hancur, pola hidup mereka berubah dan terancam. ”Dari cara hidup meramu, tiba-tiba kami dihadapkan pada pola hidup baru, yaitu industri berbasis perkebunan tanpa proses peralihan dan pendampingan yang memadai,” kata Ketua Dewan Adat Masyarakat Keerom Hubertus Kwambre.
Pemerintah melalui PTPN II, tutur Hubertus, memang melatih masyarakat untuk mengelola kebun kelapa sawit itu. Namun, itu bukan perkara mudah. Cara berkebun dengan orientasi industri sangat berbeda dengan cara berkebun masyarakat asli Papua yang berorientasi pemenuhan hidup harian saja.
Jika sebelumnya masyarakat asli cukup membuka hutan seluas kurang lebih setengah hektar untuk menanam keladi, sayur dan umbi-umbian, dengan hadirnya kelapa sawit mereka harus bekerja pada lahan minimal seluas dua hektar dengan jenis tanaman monokultur.
Sebagai plasma mereka dihadapkan pada pola intensifikasi untuk memperoleh target produksi tandan buah segar (TBS) untuk memasok industri minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil). Mereka juga menjadi bergantung pada pabrik karena CPO hanya dapat dihasilkan melalui proses pemerasan di pabrik.
Tanpa disadari, itu berdampak pada hilangnya identitas kultural dan relasi mereka dengan tanah pun berubah. ”Jika sebelumnya relasi masyarakat asli dengan tanah sangat dipengaruhi oleh gagasan filosofis dan religius, dalam pola baru itu relasi masyarakat dengan lahan cenderung hanya berbasis ekonomis. Melalui proses itu, mereka pun seolah menjadi buruh dalam relasi industri berbasis perkebunan rakyat tersebut,” tutur Hubertus menambahkan.
Tidak nyaman itu, ditambah berbagai persoalan, seperti menurunnya kinerja pabrik, rendahnya harga TBS, dan tingginya ongkos angkut, pada awal periode tahun 2000 masyarakat asli mulai meninggalkan kebun kelapa sawit mereka. Sebagian kebun itu mereka jual atau disewakan kepada para transmigran pendatang. Imbalannya, pembeli atau penyewa membangun rumah permanen serta menyetor uang sewa sebesar Rp 250.000 hingga Rp 300.000 per bulan.
Seorang anggota DPRD Kabupaten Keerom, Conrad Gusbagir, yang membidangi Keuangan, mengatakan, sebenarnya prospek ekonomis dari perkebunan kelapa sawit cukup menjanjikan. Buktinya, dari penjualan TBS para petani plasma yang berasal dari luar Papua mampu menghasilkan uang hingga jutaan rupiah per bulan.
”Sebaliknya, masyarakat asli karena tidak mampu mengurus kebun kelapa sawit hasilnya buruk. Lalu mereka mulai beranggapan kelapa sawit tidak bermanfaat. Ujungnya, mereka menjual atau menyewakan lahan itu dan untuk menyambung hidup sehari-hari mereka kembali menanam sayur-mayur dan menjualnya ke pasar,” kata Conrad lagi.
Kesenjangan
Namun, peralihan itu ternyata makin memperunyam masa depan masyarakat asli Papua. Ketika para pendatang mampu mereproduksi lahan yang mereka sewa dan memperoleh penghasilan dari usaha itu, sebagian besar masyarakat asli justru mulai bergulat dengan kemiskinan.
Kesenjangan kian melebar. Reproduksi modal oleh pendatang membuat mereka mampu menguasai, sektor informal, sebagian besar aset ekonomi terutama di wilayah perkotaan, terutama pasar. Deretan kios di Arso Kota dan Arso II, misalnya, dimiliki pendatang. Masyarakat asli hanya mengambil peran kecil sebagai pedagang sayur atau sirih-pinang.
Perlahan-lahan kota mulai dipadati pendatang dan masyarakat asli makin terpinggirkan. Mereka pun seolah menjadi terasing di tanah mereka sendiri, apalagi ketika mereka mendapat cap-cap sebagai tukang mabuk, tukang bikin onar, dan separatis.
Melompat
Dosen pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia, Hariadi Kartodihardjo, mengatakan, kegagalan masyarakat asli Papua bercocok tanam kelapa sawit disebabkan karena mereka mengalami lompatan kultur dalam proses budidaya dan produksi tanaman perkebunan. Lompatan kultur itu memperlemah kelembagaan masyarakat dan mengancam kemandirian mereka.
Harus diakui, dalam dimensi investasi, penguatan sosial masyarakat menurutnya kerap tidak mendapat perhatian. Yang menjadi fokus utama adalah agregat pertumbuhan investasi dan laju modal. ”Kemajuan ekonomi berbasis komunitas tidak menjadi perhatian karena, memang, basis kultural kerap berlawanan dengan pola perkebunan yang orientasinya produk massal,” kata Hariadi.
Melihat apa yang dialami masyarakat Keerom, Dekan Keerom yang juga penggiat HAM, Pater John Jonga, berpendapat sebaiknya pemerintah mengkaji kembali proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua. Banyak aspek, seperti lingkungan hidup, budaya, isu-isu keamanan, dan sosial, harus dipertimbangkan kembali. Apalagi, saat ini, ada rencana pengembangan kebun baru di Keerom.
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Keerom Sidik Pujiadi mengungkapkan, PT Rajawali Group akan mengelola lahan seluas 26.048 hektar. ”Lahan yang akan dibuka hanya seluas 15.000 hektar saja. Sebagian lahan tidak dibuka karena merupakan hutan adat,” kata Sidik Pujiadi.
Ia berpendapat, melihat situasi dan kondisi masyarakat Papua, setiap perusahaan yang hendak mengembangkan usaha sebaiknya mempresentasikan diri kepada masyarakat, pemerintah daerah, dan para tokoh masyarakat adat setempat. Sejak awal benih-benih kecurigaan harus dipupus untuk membuka pintu keterlibatan masyarakat asli, terutama untuk menentukan bagaimana tanah dikelola dan komoditas apa yang selayaknya serta mampu dikembangkan masyarakat.
Gagasan dan rasa memiliki masyarakat perlu diakomodasi dan diberi perhatian karena mereka melihat tanah bukan semata-mata sebagai modal usaha. Lebih dari itu, tanah adalah bagian eksistensial dari budaya dan keberadaan mereka.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/02/08/0501214/