Keputusan mengejutkan dari pemerintah Jepang disela berlangsungnya Konferensi Perubahan Iklim di Warsawa, Polandia, pada pertengahan November. Dalam jumpa persnya, Yoshihide Suga, Chief Cabinet Jepang mengumumkan target penurunan emisi 3,8 % pada tahun 2020 dari baseline tingkat emisi 1990. Kebijakan yang diambil pemerintah Negeri Sakura ini akibat tutupnya reaktor nuklir Fukushima setelah kebocoran yang berdampak luas kepada masalah sosial dan lingkungan.
Pemerintah Jepang cukup realistis lantaran kontribusi reaktor nuklir ini bagi suplai listriknya sebesar 26%. Tenaga nuklir ini lalu dialihkan kepada sumber lain seperti gas alam dan batubara yang menyebabkan pelepasan emisi karbon ke angkasa. “Kami harus menurunkan ambisi kepada level terendah,” kata Hiroshi Minami, Kepala Negosiator Jepang pada saat pembicaraan tingkat PBB di Konferensi Warsawa, seperti dikutip dari situs japantoday.com.
Padahal, Jepang ini yang beberapa waktu lalu mengajak Indonesia bersama 17 negara berkembang untuk bekerjasama dalam pengurangan emisi karbon sampai level 25%. Antara Indonesia dan Jepang sudah disepakati kerjasama pada 26 Agustus 2013 yang mencakup Joint Credit Mechanisme (JCM) lewat proyek-proyek di bidang energi terbarukan, transportasi rendah karbon, kegiatan berbasis kehutanan, dan pertanian rendah karbon.
Tidak jauh berbeda dengan Jepang, pemerintah Australia mengurungkan beberapa kebijakan perubahan iklimnya seperti menghapuskan skema pendanaan karbon domestik dan membubarkan Climate Change Authority dan Clean Energy Finance Company. Bahkan, target pengurangan emisi karbon Negeri Kanguru ini hanya sekitar 5% sampai 2020.
Dalam pernyataannya, Tonny Abbot, Perdana Menteri Australia, mengatakan Australia akan dapat mencapai target pengurangan emisi sebesar 5% tadi,namun tidak akan dibuat komitmen yang melebihi target sekarang ini. Sebab, pihaknya belum berniat untuk membangun komitmen lebih lanjut dan mengikat ketika negara lain tidak menunjukkan keseriusannya dengan komitmen pengurangan emisi karbon.
Perubahan kebijakan perubahan iklim di negara tersebut, tentu saja dapat menjadi pertimbangan Indonesia untuk tidak memaksakan target pengurangan emisi karbon sampai 26%. Mengingat, negara lain khususnya negara maju tak punya komitmen serius untuk membantu pendanaan perubahan iklim.
Hal ini terbukti dari hasil akhir Keputusan Konferensi Perubahan Iklim di Warsawa yang tidak menghasilkan sesuatu yang istimewa. Kendati, muncul kesepakatan pendanaan sebesar US$ 280 juta dari tiga negara yaitu Amerika Serikat, Norwegia dan Inggris. Tapi kontribusi ini lahir setelah negara berkembang tetap menuntut tanggung jawab negara maju atas dampak buruk perubahan iklim yang sudah dihasilkan sekian lama.
Bahkan Amerika Serikat merupakan negara pengeluaran emisi karbon terbesar yang enggan menandatangani Protokol Kyoto. Sementara itu, negara maju lain seperti Jepang,Rusia, dan Selandia Baru tetap menjadi negara pihak Protokol Kyoto namun tidak berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana tercantum dalam Potokol Kyoto.
Profesor Budi Indra Setiawan, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, mengkritisi target penurunan emisi sebesar 26% karena belum mempunyai dasar/alasan yang kuat. Pernyataan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang menyebutkan Indonesia sudah dapat menurunkan emisi hingga 8% patut dipertanyakan karena tidak ada transparansi metodologi dari mana hasil tersebut diperoleh.
Secara kelembagaan, Himpunan Gambut Indonesia dan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia sudah melayangkan surat kepada DNPI dan UKP4 untuk berdiskusi terkait cara penghitungan maupun metodologi untuk pengurangan emisi karbon. Namun, kata Budi Indra, belum mendapatkan respon yang baik
Dalam jumpa pers, Rachmat Witoelar, Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), menuturkan target penurunan emisi karbon 26% mesti dipertahankan pemerintah supaya sifatnya berkelanjutan, selain dari segi kelembagaan sebaiknya tetap ada untuk menghadapi dinamika perubahan iklim di tingkat global.
Dari target 26%, menurut Rachmat Witoelar, baru tercapai penekanan emisi karbon sebesar 8% karena pemerintah dapat menekan laju penurunan deforestasi yang dinilai sebagai penyumbang terbesar emisi karbon. Merujuk kepada laporan yang berjudul Arah Growth Green Indonesia (2010) disebutkan estimasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) atau karbon di Indonesia mencapai 2,1 Giga ton (Gt) pada 2005. Denga komitmen Indonesia yang akan mengurangi emisi karbon sebanyak 26% sampai 2020, prosentase ini setara dengan nilai 0,67 Gt.
Dari data DNPI, porsi pengurangan emisi karbon yang sebesar 26%, sebagian besar merupakan tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Hampir 20% penghematan emisi karbon lebih banyak berada di sektor kehutanan. Sementara, sisanya 6% dibagi-bagi kepada kementerian lain..
Pada kenyataannya, angka pencapaian emisi karbon 8% yang dikeluarkan DNPI pada tahun ini sama dengan penjelasan Rachmat Witoelar pada tahun lalu. Apabila angkanya sama ini berarti tidak ada kemajuan dari tahun ke tahun. Ketika ditanya mengenai baseline dari penghitungan 8%, Rachmat Witoelar tidak dapat menjelaskan secara rinci asal angka penghematan emisi ini. Namun, penghitungan emisi ini dikatakan berasal dari estimasi yang dibuat di Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.
Budi Indra Setiawan meminta cara penghitungan untuk mendapatkan angka 8% ini dibuka kepada publik. Supaya dapat dipelajari dan dievaluasi secara ilmiah mengenai Jadi kami data base, referensinya, metodologi ,dan kesimpulannya. “Hasil laporan penghitungan emisi karbon perlu dikritisi pula. Jadi, kami minta supaya pemerintah terbuka dong dan jangan tertutup. Bisa saja kan dibuat semacam forum ilmiah untuk membahas hal ini,” ujarnya.
Dirinya menyarankan supaya hasil penghitungan emisi karbon tadi dapat dievaluasi oleh tenaga ahli, bukannya pihak pemerintah. Sebagai contoh, Environmental Protection Agency (EPA), Institusi Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika Serikat, menyewa tenaga ahli independen untuk setiap kebijakan yang akan dikeluarkan.
Petrus Gunarso, Peneliti Tropenbos International, menyatakan pengurangan emisi karbon sampai 26% ini sebenarnya bukan saja pemaksaan ke sektor kehutanan, melainkan untuk negara Indonesia yang sebenarnya tidak wajib mengurangi emisi.
Salah satu kebijakan yang berkaitan dengan emisi karbon adalah LoI Indonesia-Norwegia yang berkaitan dengan moratorium hutan alam dan lahan gambut. Disini Norwegia sebagai negara yang semestinya masuk sebagai negara annex I tetapi tidak berkomitmen menurunkan emisi dan membantu pendanaan.
Menurut Petrus Gunarso, kebijakan emisi karbon Indonesia yang dipaksakan ini sebenarnya ingin menunjukkan kepada negara-negara annex 1 bahwa Indonesia yang sedang berkembang berkomitmen untuk pengurangan. Yang menjadi masalah, implementasi masih dipertanyaan walaupun pemberian kompensasi itu berdasarkan pada kinerja atau performance. “Jadi kalau sekadar mengejar citra saja kemudian performa tidak ada. Maka sebenarnya akan menghasilkan pepesan kosong,” kata Petrus dengan nada tegas.
Masalah perdagangan karbon yang dijanjikan negara maju, dalam pandangan Petrus Gunarso, sekarang ini menjadi bisnis yang tidak berimbang. Karena, posisi antara pembeli lebih tinggi daripada yang menjual. “Sedangkan penjual ditekan dengan berbagai aturan tetapi pada akhirnya pembeli tidak membeli apapun, hanya sebatas omong kosong,” ungkap peraih PHd dari School of Natural and Rural System Management, The University of Queensland.
Menurut Budi Indra Setiawan, langkah paling efektif guna mencegah pengeluaran karbon lewat pencegahan kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun. Antisipasi ini harus menjadi tanggungjawab utama pemerintah yang melibatkan pula masyarakat dan pelaku usaha.
Dalam hal ini, perkebunan sawit mempunyai peranan sebagai penyerap CO2 secara netto yang bahkan lebih besar dari hutan alam tropis. Dalam buku “Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Isu Lingkungan Global”, yang merujuk kepada penelitian Henson I.E (1999) disebutkan perkebunan sawit dalam pertumbuhan biomass (termasuk produksi) selama masa pertumbuhan kelapa sawit hingga 25 tahun, tingkat sequestrasi karbon (melalui fotosintesis) yg dihasilkan lebih besar dari emisi akibat respirasi. Kelapa sawit mempunyai tingkat penyerapan netto sebesar 64,5 ton CO2 per hektare per tahun.
Sedangkan hutan alam tropis yang mencapai umur dewasa pertumbuhan biomass sudah berhenti atau sangat kecil, sehingga laju fotosintesis mendekati laju respirasi. Hutan alam tropis memiliki penyerapan CO2 berjumlah 42,4 ton CO2 per hektare per tahun.
Ini artinya, perkebunan sawit juga berperan dalam pengurangan emisi karbon mengingat perkebunan ini dikategorikan sebagai land cover yang dapat berfungsi ekologis. (Qayuum Amri/Anggar Septiadi)