Dengan berbagai fakta ini, niat dan komitmen pemerintah sangatlah ditunggu pemangku kepentingan kelapa sawit dalam menyelesaikan masalah, salah satunya lewat penyusunan INPRES khusus penyelesaian hambatan industri sawit. Tim redaksi SAWIT INDONESIA mewawancarai Bapak Joko Supriyono selaku Sekjen GAPKI, untuk berdiskusi mengenai paket penyelamatan ekonomi nasional jilid I dan upaya menyelesaikan hambatan yang sedang dihadapi pelaku industri sawit. Berikut ini petikan wawancara kami yang berlangsung selama lebih dari satu jam:
Bagaimana tanggapan Bapak terhadap tekanan ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia sekarang ini?
Ekonomi Indonesia sedang mengalami ujian berat sejak tahun lalu yang diperkirakan masih berlangsung hingga tahun ini. Ini terutama ditandai dengan defisit neraca perdagangan yang sudah berlangsung 8 triwulan berturut-turut, berkurangnya cadangan devisa, pelemahan rupiah dan lesunya bursa saham. Sepanjang 2013, neraca perdagangan Januari-September 2013 mengalami defisit sebesar US$6,26 miliar yang terdiri dari dari surplus nonmigas sebesar US$3,48 miliar dan defisit neraca perdagangan migas sebesar US$9,74 miliar.
Namun beruntung, Indonesia mempunyai kelapa sawit yang mampu mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia, karena produk minyak kelapa sawit dan turunannya mengalami surplus sehingga menghasilkan pendapatan ekspor. Faktanya, ekspor CPO dan turunan tumbuh positif sepanjang sepuluh bulan terakhir yang secara total volume naik sekitar 15% menjadi 16 juta ton dari tahun 2012. Dengan nilai perdagangan ekspor yang diperkirakan US$ 15 miliar, seiring membaiknya harga CPO menjelang tutup tahun 2013 yang sudah berada di kisaran US$ 850 per ton.
Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi jilid 1 untuk perbaikan nilai tukar rupiah dan peningkatan kinerja ekspor. Dimanakah posisi dan peran kelapa sawit untuk mempercepat realisasi kebijakan ini?
Menyikapi dan mengantisipasi kondisi ekonomi yang kemungkinan bisa memburuk, Pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi jilid 1 yang berisi 4 hal yaitu memperbaiki defisit neraca perdagangan dan menjaga nilai tukar rupiah, pemberian insentif, menjaga inflasi dan mendorong daya beli serta percepatan investasi. Sebenarnya, kalau Pemerintah jeli dan serius, menerapkan empat langkah di dalam paket kebijakan tersebut untuk industri sawit akan memberikan dampak cepat dan cukup signifikan, dibandingkan dengan mencari-cari di tempat lain yang belum tentu efektif dan berdampak besar.
Untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan dan menjaga nilai rupiah tidak ada cara lain kecuali dengan meningkatkan ekspor. Salah satu yang bisa diandalkan untuk meningkatkan ekspor adalah minyak sawit. Ekspor minyak sawit dan turunannya setiap tahun bisa mencapai US$ 20-25 miliar, dan merupakan penyumbang terbesar ekspor non-migas setelah batubara. Untuk mengoptimalkan kinerja ekspor minyak sawit seharusnya Pemerintah tinggal ‘menghilangkan’ bea keluar yang selama ini dibebankan kepada CPO maupun turunannya. Malaysia sudah menghilangkan bea keluar ekspor baik untuk produk CPO maupun turunannya sejak awal tahun. Bea keluar menurunkan daya saing Indonesia di pasar global.
Akibat Indonesia menaikkan bea keluar CPO, India membalas dengan menaikkan pajak impor produk turunan Indonesia. Jadi kalau ekspor ke India minyak sawit Indonesia kena dua kali pajak, yaitu pajak ekspor waktu keluar Indonesia dan pajak impor waktu masuk India. Bahkan, India memperingatkan jika bea keluar Indonesia tidak diturunkan, kemungkinan India akan beralih mengimpor minyak biji-bijian lain yang lebih kompetitif. Untuk memperbaiki defisit juga bisa dilakukan dengan mengurangi impor bahan bakar minyak dan menggantikannya dengan biodiesel asal sawit.
Di dalam paket ekonomi tersebut, pemerintah mengeluarkan aturan mandatori biodiesel untuk sektor transportasi dan pembangkit listrik. Apa saran Bapak supaya mandatori biodiesel benar-benar berjalan baik di lapangan?
Pemerintah telah menetapkan campuran wajib 7,5% dan diperbaharui dengan meningkatkan campuran wajib sebesar 20% pada tahun 2020. Tapi, penetapan saja tidak cukup, harus dibarengi dengan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan serapan (off-take) dan memperbaiki mekanisme harga maupun distribusinya. Alih-alih mau memberikan insentif untuk percepatan implementasi, Pemerintah malah menerapkan pricing policy yang dengan formula ‘MOPS minus’ yang notabene tidak menarik bagi produsen biodiesel karena ketidakpastian margin bagi produsen biodiesel akibat harga CPO yang fluktuatif. Idealnya, ketika harga biodiesel lebih mahal dari MOPS Pemerintah bisa mengalokasikan insentif/subsidi, sebagian dari hasil penghematan devisa ketika harga biodiesel lebih murah dari MOPs.
Pemberian insentif justru seharusnya menjadi pertimbangan pertama untuk sektor industri sawit karena para pelaku usaha sudah minta kepada Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan PPN industri terintegrasi karena menjadi ‘double taxation’ selama ini. Akibat masalah PPN masukan ini, pelaku usaha industri sawit kehilangan kesempatan mengkreditkan PPn masukan sehingga menjadi beban yang mengurangi daya saing industri sawit. Tidak usahlah menjanjikan ‘additional tax deduction’ bagi eksportir padat karya yang waktunya harus menunggu dan prosedurnya belum pasti. Jika masalah PPn industri sawit ini dibereskan dampaknya akan segera dan cukup signifikan.
Seperti apa kemampuan industri sawit dalam menciptakan efek berganda (multiplier effect) kepada pertumbuhan ekonomi daerah?
Bicara daya beli, petani dan pekerja kelapa sawit adalah kelompok yang memiliki indeks nilai tukar yang cukup baik. Bahkan menjadi lokomotif ekonomi bagi petani atau masyarakat di luar Sumatra dan Kalimantan yang kebagian multiplier effect secara luas. Cobalah perhatikan bagaimana makin padatnya perdagangan yang menyeberang Selat Sunda menuju Sumatra. Perhatikan pula, bagaimana meningkatkan arus lalu lintas perjalanan udara menuju kota-kota di Kalimantan dan Sumatra. Ada banyak muncul sentra pertumbuhan ekonomi baru di Sumatra dan Kalimantan yang memiliki kekuatan daya beli luar biasa dan mampu menjadi magnet, salah satu penyebab utamanya tentu karena perkebunan sawit.
Peningkatan investasi di dalam negeri termasuk ke dalam program pemerintah untuk memperbaiki ekonomi. Tetapi di sisi lain, banyak hambatan yang dibebankan kepada sektor hulu kepada industri sawit. Menurut Bapak, seberapa efektif kebijakan investasi ini?
Percepatan investasi juga tidak perlu ‘didorong-dorong’ bagi pelaku industri sawit, karena selama ini yang dihadapi justru hambatan investasi. Ini sangat ironis, sementara Pemerintah membuat kebijakan untuk menarik investasi asing sebanyak-banyaknya masuk Indonesia, bahkan termasuk akan merevisi daftar negatif investasi atau dengan kata lain meningkatkan porsi asing pada investasi di Indonesia, justru investasi dalam negeri yang merupakan keunggulan Indonesia malah dibatasi. Sebut saja misalnya, kebijakan penundaan pemberian ijin pengembangan sawit pada lahan gambut, kebijakan pembatasan penguasaan lahan oleh grup perusahaan dan berbagai peraturan-peraturan daerah yang membuat iklim investasi kurang kondusif.
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI pernah berjanji akan membantu penuntasan hambatan yang dihadapi industri sawit. Perlukah dibuat sebuah INPRES khusus untuk segera merealisasikannya?
Sungguh, sebenarnya Pemerintah tidak perlu berfikir yang berat-berat. Tanpa bermaksud mengecilkan, berapalah yang diperoleh Pemerintah dari menaikkan pajak barang mewah dan dampaknya bagi pengurangan defisit? Hanya dibutuhkan kejujuran dan kesungguhan Pemerintah untuk mengakui bahwa industri sawit adalah strategis bagi perekonomian bangsa, sehingga mendukung dan memproteksinya adalah suatu keniscayaan. Atau, jangan-jangan dibutuhkan Instruksi Presiden (INPRES) untuk mempercepat penyelesaian masalah ini semua.