Agen Sorax Sadap Latex – Sorax Sachet – Agen Sorax - Jual Sorax Perangsang Getah Karet Harga Murah

Malam-malam Basmi Ulat Api

Rabu, 25 Mei 2011

Wabah Ulat Api

Laporan wartawan Tribun Jambi, Jariyanto

BANGKO, TRIBUNJAMBI.COM – Ulat api juga menyerang tanaman sawit di Kabupatan Merangin. Ulat yang menyerang tanaman sawit di beberapa desa, di Kecamatan Tabir Timur, dan sudah sempat mereda, kini muncul kembali. Ulat api melahap daun dan ‘menggunduli’ ratusan hektare tanaman sawit milik warga di Desa Tanah Garo, Kecamatan Tabir Timur.

Berdasarkan informasi yang dihimpun tribunjambi.com dari seorang warga Desa Tanah Garo, Ani (30), sudah sekitar tiga minggu ini para petani dibikin sibuk dan harus keluar malam untuk membasi ulat api.

“Setelah magrib, warga yang memiliki kebun sawit terpaksa pergi ke kebun untuk melakukan pengasapan (fogging) guna membasmi ulat api,” ujarnya kepada tribunjambi.com, kemarin.

Ani menjelaskan, warga atau para petani yang melakukan aktivitas ini hingga larut malam, karena kalau siang hari, fogging tidak efektif. “Kalau siang asapnya terbawa angin jadi tidak efektif, jadi terpaksa dilakukan pada malam hari. Kadang-kadang ada yang sampai pukul 02.00 baru pulang ke rumah,” katanya.
Menurutnya, hal itu juga dilakukan orangtuanya, yang juga memiliki kebun sawit. Sama dengan para petani lainnya, setiap malam harus pergi ke kebun sawit, dan melakukan pengasapan.

Ditanya mengenai bantuan dari dinas terkait tentang adanya serangan ulat api ini, Ani menyatakan, belum ada yang datang memberikan bantuan. “Kalau dari dinas belum ada. Jadi, kami mohon agar turut membantu untuk mengatasi ulat api ini, karena serangannya cukup cepat. Dalam tempo tiga hari saja, hanya tinggal lidinya saja yang tersisa,” tandasnya.

Kepala BP4K, Dedi Darmantias, pada Kamis (19/5) lalu menyatakan, untuk mengatasi serangan ulat api, cara yang bisa dilakukan dari dinas terkait yaitu dengan cara fogging. “Yang menjadi kendala adalah alat fogging nya. Oleh Kita hanya mempunyai empat alat, oleh karena itu kita juga sudah meminjam kepada Dinas Kesehatan. Dinkes mempunyai tiga alat fogging, namun dua yang bisa digunakan,” katanya.

Menurutnya, dengan keterbatasan alat fogging, sementara lokasi lahan sawit yang diserang ulat api, bukan hanya satu kawasan, membuat pembasmiannya membutuhkan waktu.

Untuk diketahui, hama ulat api (ada dua jenis, parasa lepida dan setora nitent) pada November 2010 lalu sudah menyerang kebun sawit di delapan desa di dua kecamatan. Desa tersebut adalah Tanah Garo, Sungai Bulian, Sri Srembuk, dan Desa Bukit Subur, di Kecamatan Tabir Timur. Luas kebun sawit yang diserang ulat sekitar 520 hektare.
Sisanya, ulat api menyerang sekitar 480 hektare lahan di Desa Gading Jaya, Sinar Gading, Sungai Sahut, dan Desa Bunga Antoi yang berada di Kecamatan Tabir Selatan. Jadi total ada sekitar 1.000 hektare lahan yang diserang ulat api.
Belakangan, di Kecamatan Pamenang juga ada lahan sawit yang diserang ulat api, serta beberapa kecamatan yang mayoritas banyak terdapat perkebunan sawit.

Sumber : http://jambi.tribunnews.com/2011/05/25/malam-malam-basmi-ulat-api

Artikel / Berita Terkait :

Rayap Sang Pengurai Yang Menjadi Hama Pada Tanaman Perkebunan

Rayap yang dalam bahasa Inggris disebut white ants (semut putih), pada umumnya dikenal sebagai serangga yang mengakibatkan kehancuran seperti pepatah “bak kayu dimakan rayap”. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar karena dalam ekosistem alam, rayap juga merupakan serangga yang menguntungkan bagi manusia yaitu sebagai serangga pengurai (dekomposer) yang menguraikan sisa-sisa tanaman/kayu. Rayap memakan bahan yang mengandung selulosa seperti kayu dan produk turunannya seperti kertas. Selulosa merupakan senyawa organik yang keberadaanya melimpah di alam namun tidak dapat dicerna oleh manusia maupun organisme tingkat tinggi lainnya sedangkan rayap dengan mudah dapat mencerna senyawa ini karena dalam usus rayap terdapat parasit Trichonympha yang mengeluarkan enzim selulase yang dapat memecah selulosa menjadi D-glukosa (gula alami).

Rayap hidup dalam satu kelompok yang disebut koloni. Dalam setiap koloni rayap terdapat beberapa kasta individu yaitu kasta reproduktif yang disebut raja dan ratu yang bertugas untuk memproduksi telur, kasta prajurit yang bertugas menjaga sarang dan kasta pekerja yang bertugas mencari makanan, melayani sang ratu dan bertani jamur yang dijadikan sumber makanan selain kayu. Beberapa perilaku yang dimiliki oleh rayap antara lain:
a. Cryptobiotik yaitu sifat rayap yang tidak tahan terhadap cahaya,
b. Trofalaksis yaitu saling menjilati dan tukar menukar makanan antar sesama individu
c. Kanibalistik yaitu memakan individu lain yang sakit atau lemas
d. Neurophagy yaitu memakan bangkai individu lainnya.
Ukuran tubuh rayap sangat kecil, Captotermes curvignatus memiliki ukuran tubuh kurang lebih 3 mm (Suhaendah dkk, 2007) sedangkan Microtermes berukuran 2.8 – 3.9 mm (Kalshoven, 1981). Kemampuan mensintesis selulosa menjadikan rayap sebagai hama yang sangat berbahaya pada tanaman perkebunan.
Tarumingkeng (1993), menyatakan bahwa rayap perusak kayu terpenting di Indonesia adalah:
1. Rayap subteran dan rayap tanah (family Rhinotermitidae dan Termitidae): Captotermes, Schedorhinotermes, Odontotermes, Macrotermes, dan Microtermes.
2. Rayap kayu kering (Famili Kalotermitidae): Cryptotermes.
Rayap tanah menyukai tipe tanah yang banyak mengandung liat dengan kelembaban tinggi, perkembangan optimum dicapai pada kisaran kelembaban 75-90% (Iswanto A.H, 2005).
Rayap mencapai sasaran serangan dengan beberapa cara seperti:
1. Obyek berhubungan langsung dengan tanah;
2. Rayap membangun pipa perlindungan dari tanah sampai obyek serangan;
3. Melalui celah, retak kecil misalnya pada dinding dan pondasi;
4. Menembus obyek-obyek penghalang seperti plastik, logam tipis dan lain-lain.
Rayap Yang Menyerang Tanaman Perkebunan
Pada tanaman perkebunan rayap dianggap sebagai hama yang sangat merugikan. Rayap dari famili Rhinotermitidae terutama dari genus Captotermes dan Schedorhinotermes yang paling banyak merusak tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan jambu mete. Jenis rayap yang umum menyerang tanaman perkebunan adalah rayap subteren. Rayap subteren hidup didalam tanah yang mengandung bahan kayu yang telah mati atau membusuk dan tunggak pohon yang masih hidup maupun yang sudah mati. Golongan rayap subteren bersarang dalam tanah dan memerlukan kelembaban yang tinggi namun dapat mencari makan sampai jauh diatas tanah. Rayap dapat mencapai sumber makanannya dengan cara membuat terowongan atau liang-liang kembara yang terbuat dari tanah. Tanaman perkebunan yang terserang rayap ditandai dengan adanya terowongan rayap dipermukaan batang yang mengarah ke atas.

Rayap Pada Tanaman Kelapa Sawit
Rayap Captotermes curvignatus merupakan hama utama pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut (Yohanes D.J, dkk.). Rayap menyerang di pembibitan, tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM). Keberadaan rayap berawal dari pembukaan lahan yang kurang bersih sehingga ketika lahan ditanami kelapa sawit rayap menjadi hama yang sangat merusak.
Rayap menyerang kelapa sawit dari dalam tanah langsung mengebor bagian tengah pangkal batang hingga terbentuk rongga dan bersarang didalamnya. Rayap pekerja menggerek dan memakan pangkal pelepah, jaringan batang, akar dan pangkal akar, daun, serta titik tumbuh tanaman kelapa sawit. Serangan ringan ditandai dengan adanya terowongan pada permukaan batang. Tanaman kelapa sawit dikategorikan terserang berat apabila serangan rayap sudah mencapai titik tumbuh (umbut) yang dapat mengakibatkan tanaman mati.
Rayap Pada Tanaman Karet
Rayap yang menyerang tanaman karet adalah dari kelompok Microtermes inopiratus, Captotermes curvignatus. Pada umumnya rayap menyerang tanaman karet dari akar yang mati serta pangkal kayu yang ada disekitar batang karet. Serangan rayap seringkali dijumpai pada tanaman yang sudah terserang penyakit jamur akar putih (JAP) sehingga keberadaanya mempercepat kematian tanaman (Judawi dkk, 2006).

 Rayap menyerang tanaman karet dengan cara menggerek batang dari ujung daun sampai ke akar dan memakan akar.

Rayap Pada Tanaman Jambu Mete
Serangan rayap pada tanaman jambu mete dapat mengakibatkan batang patah/rebah. Tanaman yang terserang C. curvignatus secara kasat mata terlihat masih hidup namun sebenarnya tidak memiliki kekuatan untuk menahan tiupan angin kencang sehingga mudah tumbang. Pada tanaman jambu mete rayap menyerang di pembibitan yang mengakibatkan biji tidak bertunas atau tidak tumbuh (BPT Situbondo, 2009). Di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara dilaporkan serangan rayap pada jambu mete mencapai sekitar 30% (Indriati G dan Khaerati, 2010).
Pengendalian
Sebelum melakukan tindakan pengendalian perlu dilakukan pengamatan diareal pertanaman yang menunjukkan gejala serangan. Usaha pengendalian dapat dilakukan berdasarkan beberapa aspek biologi rayap misalnya sifat trofalasis rayap dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyebarkan jamur entomopatogen atau nematode yang berpotensi mengendalikan perkembangan rayap. Pengendalian rayap pada tanaman perkebunan sebagai berikut:
1. Kultur Teknis
Sanitasi di areal perkebunan dengan cara membersihkan tunggul-tunggul tanaman sisa pembukaan lahan baru;
Membuat saluran drainase untuk menjaga kelembaban tanah
2. Pengendalian hayati
Beberapa jamur entomopatogen telah banyak dikembangkan untuk mengendalikan hama rayap antara lain Beauveria bassiana, Aspergillus sp., Metarhizium anisopliae, Fusarium sp, dan Myrothesium sp., dengan cara penyemprotan. Karena sifatnya yang kanibal maka rayap yang telah mati akibat terinfeksi oleh jamur akan dimakan oleh rayap lainnya yang masih sehat, akibatnya rayap tersebut ikut terinfeksi dan mati.
3. Pengendalian kimiawi
Pengendalian kimiawi dilakukan dengan teknik pengumpanan menggunakan insektisida berbahan aktif hexaflumuran yang dapat menghambat sintesa khitin yang menyebabkan kegagalan proses pergantian kulit rayap. Umpan gulungan kertas tisu yang telah dicelupkan ke dalam larutan hexaflumoran diletakkan dalam perangkap yang ditanam dalam tanah dan ditempatkan pada titik-titik jalur lalu lalang rayap. Rayap yang sudah terkontaminasi oleh hexaflumuran tidak langsung mati akan tetapi menyebarkannya kepada rayap lain karena rayap memiliki sifat trofalaksis.

Oleh: Eva Lizarmi, SP

Daftar Pustaka
Anonim. 2009. Jambu Mete Budidaya dan dan Perbanyakannya. http://bptsitubondo.wordpress.com. Diakses pada tanggal 28 Maret 2012.
Diba, Farah dan Dodi N. 1999. Pengujian Laboratories Keampuhan Umpan Hexaflumuron Terhadap Rayap Tanah Captotermes curvignatus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae). Prosiding Penelitian Hasil-hasil Penelitian Bidang Ilmu Hayat. IPB. Bogor.
Iswanto A.H. 2005. Rayap Sebagai Perusak Kayu dan Metode Penanggulangannya. e-USU Repository.
Indriati G dan Khaerati. 2010. Hama Jambu Mete Di Muna, Kendari, Sulawesi Tenggara. http://gindriati.blogspot.com. Diakses pada tanggal 28 Maret 2012.
Judawi, S.D dkk. 2006. Pedoman Pengendalian OPT Tanaman Karet. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Kalshoven. 1981. The Pests of Crops In Indonesia.PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.
Tarumingkeng, R.C. Biologi dan Perilaku Rayap. http://rudyct.com. IPB. Diakses pada tanggal 21 Maret 2012.
Yohanes D.J, dkk. 2009. Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros dan Rayap (Captotermes curvignathus) di Asian Agri Group. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit. PPKS.

Sumber :  http://ditjenbun.deptan.go.id

Macam-macam Hama Pohon Kelapa Sawit

Ada banyak macam-macam hama yang terdapat pada perkebunan kelapa sawit, antara lain :

1. Hama Nematoda

Penyebab : Nematoda Rhadinaphelenchus cocophilus

Gejala yang terserang hama ini :

• Daun baru yang akan membuka menjadi tergulung dan tumbuh tegak.
• Daun berubah menjadi kuning kemudian mongering.
• Tandan bunga membusuk dan tidak membuka sehingga tidak menghasilkan buah.

Pengendaliannya : meracuni pohon yang terserang dengan natrium arsenit dan setelah mati /
kering segera dibongkar untuk menghilangkan sumber infeksi.

2. Hama Tungau

Penyebab : Tungau merah ( Oligonychus )

Tungau ini berukuran 0,5 mm, hidup disepanjang tulang anak daun sambil mengisap cairan daun sehingga warna daun berubah menjadi mengkilat berwarna bronz.
Hama ini berkembang pesat dan membahayakan dalam keadaan cuaca kering pada musim kemarau.
Gangguan tungau pada pesemaian dapat mengakibatkan rusaknya bibit.

Pengendalian : penyemprotan dengan akarisida Tetradifon (Tedion) 0,1 – 0,2 %. Racun ini dapat digunakan dengan baik karena tidak membunuh musuh alaminya.

3. Hama serangga.

3.1 Hama ulat setora, Setora nitens.

Kupu-kupu Setora meletakkan telurnya di bawah permukaan daun dekat pada ujungnya. Ulat Setora memakan daun dari bawah, sehingga kadang-kadang yang tersisa hanya lidinya saja.
Pengendalian : Ulat ini dapat dikendalikan dengan penyemprotan racun kontak, misalnya Hostation 25 ULV, Sevin 85 ES, Dursban 20 EC dengan konsentrasi 0,2 – 0,3 %.

3.2 Kumbang oryctes , Oryctes rhinoceros

Gejala serangan : Kumbang dewasa masuk ke dalam daerah titik tumbuh dan memakan bagian yang lunak.bila serangan mengenai titik tumbuh, tanaman akan mati, tetapi bila makan bakal daun hanya menyebabkan daun dewasa rusak seperti terpotong gunting.
Pengendalian : untuk mencegah berkembangnya hama ini, kebersihan di sekitar tanaman harus dijaga baik. Sampah-sampah atau pohon yang mati dibakar agar larva hama ini mati.

Pemberantasan secara biologis dengan menggunakan cendawan Metharrizium anisopliae dan virus Baculovirus oryctes.

3.3 The oil palm bunch moth

Penyebab : Ngengat Tirathaba mundella

Gejala serangan : Telur-telur Tirathaba diletakkan pada tandan buah terutama pada
buah-buah yang telah masak atau busuk. Setelah menetas, ulat atau larva melubangi buah-buah muda atau memakan permukaan buah yang matang.

Pengendalian : Ulat Tirathaba dapat dikendalikan dengan Dipterex atau Thiodan.
Caranya sbb. : 0,55 kg Dipterex atau Thiodan dilarutkan dalam air sebanyak 370 liter (dosis per hektar) dan diaduk sampai merata, selanjutnya disemprotkan pada kelapa sawit yang terserang ulat Tirathaba tersebut.

4. Mamalia

Hama yang termasuk mamalia (binatang menyusui) adalah babi hutan dan kera. Hama ini sangat merusak tanaman kelapa sawit. Di beberapa daerah tertentu di Sumatera, gajah sering menyebabkan kerusakan yang serius pada tanaman kelapa sawit muda. Selain itu juga tikus (rodentia) merupakan hama yang merusak (memakan) buah kelapa sawit yang sudah tua.

Jenis Hama Kelapa Sawit

Salah satu permasalahan penting dalam budidaya tanaman, termasuk kelapa sawit, adalah serangan hama yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman hingga berdampak pada penurunan tingkat produksi kelapa sawit. Hama dapat menyerang kelapa sawit sejak tahap pra-pembibitan hingga tahap menghasilkan.

Hama yang umum menyerang pada tahap pembibitan diantaranya:

Apogonia expeditionis
Exopolis hypoleuca
Adoretus compressus
Locusta migratoria
Valanga nigricornis
Tetranychus piercei

Hama yang umum menyerang pada tahap tanaman belum menghasilkan diantaranya:

Hama yang menyerang batang atau pelepah:

Rayap (Coptotermes curvignatus)
Kumbang badak (Oryctes rhinoceros)
Rhinchophorus spp.
Tikus pohon (Rattus rattus tiomanicus)
Gajah (Elephas maximus sumatranus)
Babi hutan (Sus scrofa vittatus)
Landak (Hystrix sp.)

Hama yang menyerang daun:

Ulat kantung: Metisa plana, Mahasena corbetti, Cremastopsyche pendula
Ulat api: Sethothosea assigna, Setora nitens, Darna trima
Ulat bulu: Dasychira inclusa, Amanthusia phidippus, Calliteara horsfielddii
Sapi (Bos taurus)

Hama yang menyerang pada tahap tanaman menghasilkan diantaranya:

Hama yang menyerang tandan:

Ulat tandan (Tirathaba rufivena)
Tikus pohon (Rattus-rattus tiomanicus)
Bajing kelapa (Callosciurus notatus)

Hama yang menyerang daun sama seperti pada tahap tanaman belum menghasilkan

Pengendalian terhadap hama-hama kelapa sawit tersebut harus dilakukan apabila populasinya telah mencapai ambang ekonomi. Untuk mengetahui status populasi hama, perlu dilakukan monitoring serangan hama secara berkala pada titik-titik yang telah ditentukan. Kesalahan dalam monitoring serangan hama dapat berdampak pada peledakan hama di lapangan, dan tindakan pengendalian yang terlambat akan berakibat pada kehilangan hasil yang signifikan.

Kumbang Tanduk

Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros (L)) diklasifikasikan ke dalam ordo Coleoptera, famili Scarabidae dan subfamili Dynastinae. Kumbang ini merupakan hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan di Indonesia, khususnya di areal replanting yang saat ini sedang dilakukan secara besar-besaran di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pada arealreplanting, banyak tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan sebagai tempat berkembang biak hama ini.

Gambar. Kumbang tanduk dewasa

Siklus Hidup

Siklus hidup kumbang tanduk bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi lingkungannya. Musim kemarau yang panjang dengan jumlah makanan yang sedikit akan memperlambat perkembangan larva serta ukuran dewasa yang lebih kecil dari ukuran normal. Suhu perkembangan larva yang sesuai adalah 27oC-29oC dengan kelembapan relatif 85-95% (Bedford, 1980). Satu siklus hidup hama ini dari telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan.

Kumbang ini mempunyai telur yang berwarna putih kekuningan dengan diameter 3 mm. Bentuk telur biasanya oval kemudian mulai membengkak sekitar satu minggu setelah peletakan dan menetas pada umur 8-12 hari. Stadia larva terdiri atas 3 instar, dan berlangsung dalam waktu 82-207 hari. Larva berwarna putih kekuningan, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung membentuk setengah lingkaran dengan panjang sekitar 60-100 mm atau lebih (Ooi, 1988).Prepupa terlihat menyerupai larva, hanya saja lebih kecil dari larva instar terakhir dan menjadi berkerut serta aktif bergerak ketika diganggu. Lama stadia prepupa berlangsung 8-13 hari. Pupa berwarna cokelat kekuningan, berukuran sampai 50 mm dengan waktu 17-28 hari. Kumbang berwarna cokelat gelap sampai hitam, mengkilap, panjang 35-50 mm dan lebar 20-23 mm dengan satu tanduk yang menonjol pada bagian kepala (Wood, 1968). Jantan memiliki tanduk yang lebih panjang dari betina sedangkan betina mempunyai banyak rambut pada ujung ruas terakhir abdomen dan jantan tidak (Wood, 1968). Umur betina lebih panjang dari umur jantan.

Biologi dan Ekologi

Kumbang akan meletakkan telur pada sisa-sisa bahan organik yang telah melapuk. Misalnya batang kelapa sawit yang masih berdiri dan telah melapuk, rumpukan batang kelapa sawit, batang kelapa sawit yang telah dicacah, serbuk gergaji, tunggul-tunggul karet serta tumpukan tandan kosong kelapa sawit (Dhileepan, 1988). Adanya tanaman kacangan penutup tanah akan menghalangi pergerakan kumbang dalam menemukan tempat berkembang biak. Liew dan Sulaiman (1993) mengamati bahwa tanaman penutup tanah setinggi 0,6-0,8 m mengurangi perkembangbiakan kumbang tanduk.

Batang kelapa sawit yang diracun dan masih berdiri sampai pembusukan pada sistem underplanting merupakan tempat berkembangbiak yang paling baik bagi kumbang tanduk. Selama lebih dari 2 tahun masa dekomposisi, batang yang masih berdiri memberikan perkembangbiakan 39.000 larva perhektar dibandingkan dengan batang yang telah dicacah dan dibakar (500 larva perhektar) (Samsudin et al., 1993).

Kerusakan Dan Pengaruhnya Di Lapangan

Kumbang O. rhinoceros menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali dijumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini sekarang juga dijumpai pada areal TM.

Pada areal replanting kelapa sawit, serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi sampai satu tahun, dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%. Masalah kumbang tanduk saat ini semakin bertambah dengan adanya aplikasi tandan kosong kelapa sawit pada gawangan maupun pada sistem lubang tanam besar. Aplikasi mulsa tandan kosong sawit (TKS) yang kurang tepat dapat mengakibatkan timbulnya masalah kumbang tanduk di areal kelapa sawit tua.

Kumbang terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai agak malam (sampai dengan jam 21.00 WIB), dan jarang dijumpai pada waktu larut malam. Dari pengalaman diketahui bahwa kumbang banyak menyerang kelapa pada malam sebelum turun hujan.

Makanan kumbang dewasa adalah tajuk tanaman, dengan menggerek melalui pangkal batang sampai pada titik tumbuh. Daun yang telah membuka memperlihatkan bentuk seperti huruf V terbalik atau karakteristik potongan serrate (Sadakhatula dan Ramachandran, 1990). Serangan yang berkali-kali pada tanaman dapat menyebabkan kematian dan menjadi rentan masuknya kumbang Rhyncophorus bilineatus (Coleoptera: Curculionidae) (Sivapragasam et al., 1990), juga bakteri ataupun jamur, sehingga terjadi pembusukan yang berkelanjutan. Dalam keadaan seperti ini tanaman mungkin menjadi mati atau terus hidup dengan gejala pertumbuhan yang tidak normal. Tanaman dapat mengalami gerekan beberapa kali, sehingga walaupun dapat bertahan hidup, pertumbuhannya terhambat dan mengakibatkan saat berproduksi menjadi terlambat.

Pengendalian

Pengendalian Biologi

Pengendalian kumbang tanduk O. rhinoceros secara biologi menggunakan beberapa agensia hayati diantaranya jamurMetarhizium anisopliae dan Baculovirus oryctes. Jamur M. anisopliae merupakan jamur parasit yang telah lama digunakan untuk mengendalikan hama O. rhinoceros. Jamur ini efektif menyebabkan kematian pada stadia larva dengan gejala mumifikasi yang tampak 2-4 minggu setelah aplikasi. Jamur diaplikasikan dengan menaburkan 20 g/m2 (dalam medium jagung) pada tumpukan tandan kosong kelapa sawit dan 1 kg/batang kelapa sawit yang telah ditumbang. Baculovirus oryctes juga efektif mengendalikan larva maupun kumbang O. rhinoceros.

Pengendalian Kimia

Pengendalian menggunakan insektisida kimia masih banyak dilakukan. Insektisida kimia yang dahulu efektif di lapangan adalah organoklorin. Karena toksisisitas organoklorin yang tinggi, maka insektisida tersebut diganti dengan karbofuran yang penggunaannya pada interval 4-6 minggu untuk mengendalikan kumbang dewasa.

Chung et al. (1993) mencatat beberapa jenis insektisida yang digunakan untuk mengendalikan kumbang di pembibitan maupun stadia TBM kelapa sawit. Insektisida tersebut adalah lambda sihalothrin, sipermetrin, venvalerate, monocrotophos dan chorphyrifos yang secara signifikan mengurangi kerusakan O. rhinoceros setelah 11 minggu. Insektisida kimia yang paling efektif untuk mengurangi kerusakan adalah lambda sihalothrin. Ho (1996) melaporkan bahwa dengan populasi hama yang tinggi, karbofuran semakin lama semakin tidak efektif.

Perangkap Feromon.

Upaya terkini dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah penggunaan perangkap feromon. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat untuk menarik kumbang jantan maupun betina. Feromon agregat iniberguna sebagai alat kendali populasi hama dan sebagai perangkap massal. Rekomendasi untuk perangkap massal adalah meletakkan satu perangkap untuk 2 hektar (Chung, 1997). Pada harga komersial Rp. 60.000,- per sachet, penggunaan feromon lebih menghemat dibanding dengan karbofuran dan manual sekitar Rp. 117.200,-/ha/tahun. Pada populasi kumbang yang tinggi, aplikasi feromon diterapkan satu perangkap untuk satu hektar.

Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros dengan menggunakan ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (Etil-4 metil oktanoate) yang digantungkan dalam ember plastik kapasitas 12 l. Tutup ember plastik diletakkan terbalik dan dilubangi 5 buah dengan diameter 55 mm. Pada dasar ember plastik dibuat 5 lubang dengan diameter 2 mm untuk pembuangan air hujan. Ferotrap tersebut kemudian digantungkan pada tiang kayu setinggi 4 m dan dipasang di dalam areal kelapa sawit. Selain ember plastik dapat juga digunakan perangkap PVC diameter 10 cm, panjang 2 m. Satu kantong feromon sintetik dapat digunakan selama 2-3 bulan. Setiap dua minggu dilakukan pengumpulan kumbang yang terperangkap dan dibunuh.

Keefektifannya dapat menjadi lebih tinggi apabila tindakan pengendalian juga dilakukan seperti:

·      Penanaman tanaman kacangan penutup tanah pada waktu replanting.

·      Pengumpulan kumbang secara manual dari lubang gerekan pada kelapa sawit, dengan menggunakan alat kait dari kawat. Tindakan ini dilakukan tiap bulan apabila populasi kumbang 3-5 ekor/ha, setiap 2 minggu jika populasi kumbang mencapai 5-10 ekor, dan setiap minggu pada populasi kumbang lebih dari 10 ekor.

·      Penghancuran tempat peletakkan telur secara manual dan dilanjutkan dengan pengumpulan larva untuk dibunuh, apabila jumlahnya masih terbatas.

·      Pemberantasan secara kimiawi dengan menaburkan insektisida butiran Karbosulfan sebanyak (0,05-0,10 g bahan aktif per pohon, setiap 1-2 minggu) atau 3 butir kapur barus/ pohon, setiap 1-2 kali/bulan pada pucuk kelapa sawit.

·      Larva O. rhinoceros pada mulsa TKS di areal TM dapat dikendalikan dengan menaburkan biakan murni jamurMetarrhizium anisopliae sebanyak 20 g/m2.

www.kliniksawit.com

Ulat Api

Ulat api merupakan jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling sering menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Jenis-jenis ulat api yang paling banyak ditemukan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna  diducta dan Darna bradleyi. Jenis yang jarang ditemukan adalah Thosea vestusa, Thosea bisura, Susica pallida danBirthamula chara (Norman dan Basri, 1992). Jenis ulat api yang paling merusak di Indonesia akhir-akhir ini adalah S. asigna, S. nitens dan D. trima.

Gambar. Ulat api Setothosea asigna

Siklus Hidup

Siklus hidup masing-masing spesies ulat api berbeda. S. asigna mempunyai siklus hidup 106-138 hari (Hartley, 1979). Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun ke 6-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur 300-400 butir. Telur menetes 4-8 hari setelah diletakkan. Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang kokoh. Ulat instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm. Stadia ulat ini berlangsung selama 49-50,3 hari. Ulat berkepompong pada permukaan  tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Kepompong diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap.  Kokon jantan dan betina masing-masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadia kepompong berlangsung selama ±39,7 hari. Serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing lebar rentangan sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda.

Setora nitens memiliki siklus hidup yang lebih pendek dari S. asigna yaitu 42 hari (Hartley, 1979).  Telur hampir sama dengan telur S. asigna hanya saja peletakan telur antara satu sama lain tidak saling tindih. Telur menetas setelah 4-7 hari. Ulat mula-mula berwarna hijau kekuningan kemudian hijau dan biasanya berubah menjadi kemerahan menjelang masa kepompong. Ulat ini dicirikan dengan adanya satu garis membujur di tengah punggung  yang berwarna biru keunguan. Stadia ulat dan kepompong masing-masing berlangsung sekitar 50 hari dan 17-27 hari. Ngengat mempunyai lebar rentangan sayap sekitar 35 mm. Sayap depan berwarna coklat dengan garis-garis yang berwarna lebih gelap.

Ulat api Darna trima mempunyai siklus hidup sekitar 60 hari (Hartley, 1979). Telur bulat kecil, berukuran sekitar 1,4 mm, berwarna kuning kehijauan dan diletakkan secara individual di permukaan bawah helaian daun kelapa sawit. Seekor ngengat dapat meletakkan telur sebanyak 90-300 butir. Telur menetas dalam waktu 3-4 hari. Ulat yang baru menetas berwarna putih kekuningan kemudian menjadi coklat muda dengan bercak-bercak jingga, dan pada akhir perkembangannya bagian punggung ulat berwarna coklat tua. Stadia ulat berlangsung selama 26-33 hari. Menjelang berkepompong ulat membentuk kokon dari air liurnya dan berkepompong di dalam kokon tersebut. Kokon berwarna coklat tua, berbentuk oval, berukuran sekitar panjang 5 mm dan lebar 3 mm. Lama stadia kepompong sekitar 10-14 hari. Ngengat berwarna coklat gelap dengan lebar rentangan sayap sekitar 18 mm. Sayap depan berwarna coklat gelap, dengan sebuah bintik kuning dan empat garis hitam. Sayap belakang berwarna abu-abu tua.

Biologi dan Ekologi

Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada instar 2-3 ulat memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Untuk S. asigna, selama perkembangannya, ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm². PerilakuS. nitens sama dengan S. asigna. Untuk D. trima, ulat mengikis daging daun dari permukaan bawah dan menyisakan epidermis daun bagian atas, sehingga akhirnya daun yang terserang berat akan mati kering seperti bekas terbakar. Ulat menyukai daun kelapa sawit tua, tetapi apabila daun-daun tua sudah habis ulat juga memakan daun-daun muda. Ngengat aktif pada senja dan malam hari, sedangkan pada siang hari hinggap di pelepah-pelepah daun tua dengan posisi terbalik (kepala di bawah). Pada D. trima, di waktu siang hari, ngengat suka hinggap di daun-daun yang sudah kering dengan posisi kepala di bawah dan sepintas seperti ulat kantong.

Perbedaan perilaku yang tampak antara ketiga jenis ulat api yang paling merugikan tersebut juga berbeda. S. nitensdan S. asigna berpupa pada permukaan tanah tetapi D. trima hanya di ketiak daun atau pelepah daun. Pengetahuan mengenai biologi dan perilaku sangat penting ketika akan menerapkan tindakan pengendalian hama sehingga efektif. Kokon dapat dijumpai menempel pada helaian daun, di ketiak pelepah daun atau di permukaan tanah sekitar pangkal batang dan piringan.

Kerusakan dan Pengaruhnya di Lapangan

Eksplosi hama ulat api telah dilaporkan pertama pada tahun 1976. Di Malaysia,  antara tahun  1981 dan 1990, terdapat 49 kali eksplosi hama ulat api, sehingga rata-rata 5 kali setahun (Norman dan Basri, 1992). Semua stadia tanaman rentan terhadap serangan ulat api seperti halnya ulat kantong.

Pengendalian

Pengendalian Kimiawi

Dahulu, ulat api dapat dikendalikan menggunakan berbagai macam insekisida dengan efektif. Insektisida tersebut adalah monocrotophos, dicrotophos, phosmamidon, leptophos, quinalphos, endosulphan, aminocarb dan achepate (Prathapan dan Badsun, 1979). Insektisida sistemik dapat digunakan untuk injeksi batang, dan yang lain dapat disemprotkan. Namun sekarang, insektisida ini jarang digunakan karena keefektifannya diragukan. Kemungkinan, hal ini disebabkan bahwa populasi yang berkembang telah toleran terhadap bahan kimia tersebut atau bahan kimia telah tidak mampu menyebar di dalam jaringan daun. Insektisida yang paling banyak digunakan pada perkebunan kelapa sawit untuk ulat api saat ini adalah deltametrin, profenofos dan lamda sihalothrin.

Pengendalian Hayati

Beberapa agens antagonis telah banyak digunakan untuk mengendalikan ulat api. Agens antagonis tersebut adalahBacillus thuringiensis, Cordyceps militaris dan virus Multi-Nucleo Polyhydro Virus (MNPV). Wood et al. (1977) menemukan bahwa B. thuringiensis efektif melawan S. nitens, D. trima dan S. asigna dengan tingkat kematian 90% dalam 7 hari. Cordyceps militaris telah ditemukan efektif memparasit pupa ulat api jenis S. asigna dan S. nitens. Virus MNPV digunakan untuk mengendalikan larva ulat api.

Selain mikrobia antagonis tersebut di atas, populasi ulat api dapat stabil secara alami di lapangan oleh adanya musuh alami predator dan parasitoid. Predator ulat api yang sering ditemukan adalah Eochantecona furcellata dan Sycanus leucomesus. Sedangkan parasitoid ulat api adalah Trichogrammatoidea thoseae, Brachimeria lasus, Spinaria spinator, Apanteles aluella, Chlorocryptus purpuratus, Fornicia ceylonica, Systropus roepkei, Dolichogenidae metesae, danChaetexorista javana. Parasitoid dapat diperbanyak dan dikonservasi di perkebunan kelapa sawit dengan menyediakan makanan bagi imago parasitoid tersebut seperti Turnera subulata, Turnera ulmifolia, Euphorbia heterophylla, Cassia tora, Boreria lata dan Elephantopus tomentosus. Oleh karena itu, tanaman-tanaman tersebut hendaknya tetap ditanam dan jangan dimusnahkan. Tiong (1977) juga melaporkan bahwa adanya penutup tanah dapat mengurangi populasi ulat api karena populasi musuh alami akan meningkat.

www.kliniksawit.com

Kumbang Malam

Apogonia berwarna hitam polos, panjangnya 1,2 cm, tidak berbulu, merupakan hama umum di pembibitan kelapa sawit. Kumbang memakan daun dari tepi anak-anak daun, menyerang terutama pada jam-jam awal malam hari. Pada siang hari kumbang bersembunyi 1-2 cm di bawah permukaan tanah. Tingkat populasi kritis 15 kumbang per bibit. Pengendaliannya dengan mencari di tanah di dalam atau di luar polibeg bibit, penaburan insektisida granuler sebanyak 4-5 g/bibit/bulan, atau penyemprotan dengan insektisida pada malam hari.

Gambar Daun Sawit akibat serangan Kumbang Malam :

Gejala Serangan Kumbang Malam

Gejala Serangan Kumbang Malam

Gambar Kumbang Malam :

Kumbang Malam

Kumbang Malam

www.kliniksawit.com

Pengendalian Hayati Ulat Api dengan Mikroorganisme Entomopatogenik

Pengendalian ulat api (Setothosea asigna) dengan menggunakan insektisida kimiawi merupakan cara yang umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit. Namun dalam praktek, penggunaan insektisida tersebut justru menimbulkan kerugian yang besar berupa pencemaran lingkungan akibat residu insektisida serta munculnya resistensi dan resurgensi hama. Semakin meningkatnya kesadaran akan pelestarian lingkungan, termasuk perlindungan terhadap musuh alami hama di dalam ekosistem kelapa sawit, telah mendorong para pengusaha perkebunan untuk menerapkan pengendalian hayati.

Secara teknis, pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan pengendalian secara kimiawi, karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan. Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu virus β Nudaurelia, multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV), dan jamur Cordyceps aff. militaris. Virus β Nudaurelia dan MNPV efektif untuk mengendalikan hama pada stadium ulat, sedangkan jamur Cordyceps aff. militaris efektif untuk kepompong.

Mikroorganisme entomopatogenik dapat mengurangi atau bahkan menggantikan insektisida kimia sintetis golongan piretroid, seperti Decis 2,5 DC dan Matador 25 EC
dalam pengendalian ulat api di perkebunan kelapa sawit. Biaya pengendalian hayati juga lebih murah, yaitu hanya 7% dari biaya pengendalian secara kimiawi. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, penggunaan insektisida alami menjadi pilihan bagi para pengusaha kelapa sawit. Insektisida hayati mikroorganisme entomopatogenik kini telah banyak digunakan dalam mengendalikan ulat api, baik di perkebunan negara, swasta maupun rakyat.

http://pustaka.litbang.deptan.go.id

Feromon untuk Pengendalian Kumbang Tanduk

Hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama hingga 69%  dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25%. Pengendalian kumbang tanduk secara konvensional dilakukan dengan cara pengutipan dan menggunakan insektisida kimiawi. Namun, cara tersebut dinilai tidak efektif dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan. Feromon dapat digunakan sebagai insektisida alami untuk mengendalikan kumbang tanduk dengan efektif, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian secara konvensional. Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada pasangan seksualnya, sekaligus mangsa, tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya. Komponen utama feromon sintetis ini adalah etil-4 metil oktanoat. Feromon tersebut dikemas dalam kantong plastik (sachet). Penggunaan feromon cukup murah karena biayanya hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida dan pengutipan kumbang secara manual. Selain harganya murah (Rp75.000/sachet), cara aplikasinya di lapangan tidak banyak membutuhkan tenaga kerja. Penggunaan feromon di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu alternatif yang sangat baik   untuk mengendalikan kumbang tanduk. Feromon produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit ini telah banyak digunakan oleh perusahaan perkebunan negara, swasta, dan rakyat.

Babi Hutan

Babi hutan merupakan jenis hama mammalia penting pada perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya satwa ini bukanlah merupakan penghuni tetap pada ekosistim perkebunan kelapa sawit. Kerusakan yang ditimbulkannya pada kelapa sawit hanya merupakan efek sekunder dari kehadirannya pada kebun sawit. Mereka adalah salah satu penghuni tetap hutan. Habitatnya meliputi kisaran geografis yang sangat beragam, pada hampir semua ekosistim, mulai dari padang alang-alang, semak belukar, hutan sekunder, hutan payau, hingga hutan pegunungan.

 Jenis babi hutan yang umum dijumpai merusak tanaman kelapa sawit adalah Sus scrofa vittatus. Jenis lain adalah Sus barbatus atau babi janggut, tetapi jarang dijumpai (Sipayung, 1992). Kedua spesies tersebut dilaporkan dijumpai di Sumatera dan Kalimantan. S. s. vittatus mempunyai garis putih di moncongnya, anak-anaknya berwarna coklat bergaris-garis terang, sedangkan S. barbatus berwarna agak muda, kepalanya lebih panjang dan berambut panjang tegak di sekeliling kepalanya. Di Jawa dan Sulawesi dijumpai Sus verrucosus yang berukuran lebih besar dan mempunyai taring panjang di kepalanya dan badannya tidak berbelang (Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997).

Babi Hutan

Gambar 1. Babi hutan

Babi hutan terutama menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda atau yang baru ditanam, karena mereka menyukai umbutnya yang lunak. Timbulnya serangan babi hutan pada tanaman kelapa sawit tidak semata-mata karena populasinya yang tinggi di habitatnya dalam hutan yang berdekatan, tetapi erat hubungannya dengan sifat satwa liar ini yang rakus. Selain memakan umbut mereka juga memakan buah sawit yang sudah membrondol di tanah, dan tandan buah di pohon yang masih terjangkau. Dilaporkan bahwa kematian tanaman muda akibat serangan babi hutan di Aceh diperkirakan 15,8% (Sipayung, 1992). Sebagai gambaran kerusakan tanaman kelapa sawit yang diakibatkan serangan babi hutan di beberapa daerah pengembangan disajikan pada Tabel 1. Selain itu, serangannya juga menyebabkan kerusakan pada perakaran terutama terhadap akar-akar makan (feeding roots) di sekitar piringan pohon, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan hara dari tanah dan mendorong timbulnya penyakit akar.

akibat serangan babi hutan

Tanaman sawit porak-poranda dirusak babi hutan

Gambar 2. Gejala serangan babi hutan

Salah satu komponen habitat yang diperlukan oleh babi hutan adalah air dan lumpur, yang digunakan sebagai tempat berkubang. Aktivitas berkubang tertinggi terjadi pada jam 11.00 – 13.00, dan frekuensi aktivitas mencari makan tertinggi terjadi pada jam 05.00 – 07.00 dan 16.00 – 18.00. Daya jangkau terjauh dari serangan babi hutan terhadap perkebunan kelapa sawit adalah 693 m dari tepi hutan dengan rata-rata 522 m (Sipayung, 1992).

Babi hutan jantan dewasa biasanya bergerak dan mencari makan sendiri (soliter), sedangkan yang betina hidup bersama dengan anak-anaknya dalam kelompok 4-50 ekor. Musim kawin ditandai dengan bergabungnya babi hutan jantan dewasa dengan kelompok betina. Seekor babi hutan betina dapat beranak sampai 12 ekor dengan masa bunting 110 hari. Induk babi tersebut dapat beranak lagi setelah 7-8 bulan setelah masa beranak sebelumnya (Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997). Mereka menggunakan suaranya untuk berkomunikasi, termasuk untuk memperingatkan adanya bahaya (alarm call) yang mengancam.

www.kliniksawit.com