Agen Sorax Sadap Latex – Sorax Sachet – Agen Sorax - Jual Sorax Perangsang Getah Karet Harga Murah

Duri Sawit vs Ular Kobra

Catatan Harian :

Para pekerja sawit, pendodos, pengangkat buah, bahkan juragan pemilik kebun sawit pastilah pernah tertusuk duri sawit, apalagi yang sudah berkerja di perkebunan sawit hingga bertahun-tahun.

Di antara para pekerja sawit tersebut, selain tertusuk duri sawit, bahkan tak jarang pula yang dipatuk oleh ular kobra. Ini bukan omong kosong. Dan tidak omong kosong pula bahwa mereka yang mengalami keduanya itu ada yang beranggapan bahwa duri sawit lebih berbisa daripada ular kobra.

Memang banyak pengalaman bahwa dari dari banyak orang-orang yang tertusuk duri sawit, tinggal mencabutnya pakai peniti dan perkara selesai hari itu juga. Tapi perlu diketahui bahwa banyak juga kasus dimana ketika pekerja sawit terkena duri sawit lalu setelah mencabut durinya beberapa hari kemudian malah infeksi, bengkak, kaku dan kejang-kejang. Yang paling berat adalah kenyataan bahwa ada juga yang hingga kakinya harus di amputasi.

Maka para pekerja yang sudah pengalaman, yang sudah banyak melihat hal-hal tak terduga akibat duri sawit tersebut, menjadi hati-hati, tidak menganggap remeh duri sawit dan menjaga keselamatan dengan selalu memakai sepatu, celana yang agak tebal dan topi pelindung kepala. Jikapun mereka tetap tertusuk duri sawit, biasanya mereka langsung pergi ke mantri desa untuk membersihkan luka mendapatkan suntikan anti tetanus dan antibiotik.

Untuk pengamanan sementara, sebelum pengobatan, biasanya mereka tidak lupa untuk mengolesi luka tertusuk duri sawit tersebut dengan buah sawit yang matang yang sudah dibuang kulitnya. Buah yang sudah dibuang kulitnya itu, dioleskan pada luka agar efek racun duri sawit bisa berkurang.

By Ivan Mangunsong : “Di bawah Daun-daun Hijau”

Bacaan terkait :

Penyebab Petani Kelapa Sawit Gagal di Perkebunan Sawit

Catatan Harian 13 Mei 2014

Tak terasa, sudah cukup lama juga aku berkutat, malang-melintang di dunia perkebunan sawit. Salah satu aspek yang menarik perhatian dan patut menjadi sebuah catatan seorang pekebun sawit adalah “Aspek-aspek yang menyebabkan seorang petani sawit gagal dalam profesinya sebagai pekebun sawit”

Bukan satu dua orang saja petani sawit yang kujumpai yang sudah angkat tangan dan menganggap dirinya gagal, tidak hoki dalam usaha perkebunan sawit ini. Betapa tidak, uang yang dikeluarkan rupiah demi rupiah untuk merawat sawit ini selama bertahun-tahun ternya tidak sebanding dengan apa yang sudah didapatkan.

Banyak yang sudah menyesal karena menaruh tinggi harapan masa depannya di usaha kebun sawit yang di elu-elukan selama ini. Bukannya hanya karena malas dan tidak berusaha, atau tidak memilki waktu yang cukup membenahi kebun sawitnya, namun ada juga faktor di luar kendali yang sering luput dari perhatian selama ini.

Diluar semua itu, tentu ada hikmah yang harus diambil agar bagi calon-calon petani sawit tidak menjadi penyesalan mendalam dikemudian hari.

Serangkaian penyebab gagalnya sebuah kebun sawit agar menjadi tumpuan harapan dimasa depan antara lain adalah :

Mengira cara berkebun sawit di lahan gambut sama dengan berkebun sawit di tanah biasa. Di lahan berjenis gambut pemupukan dolomit harus lebih banyak daripada dengan di tanah. Demikian juga dengan jenis pupuk lainnya.
Kebakaran. Umumnya diakibatkan kurangnya antisipasi para petani sawit dalam mencegah kebakaran, seperti penyediaan alat pemadam kebakaran, kanal-kanal air yang tidak dibangun untuk mencegah penjalaran api. Kurangnya kebersihan lahan.
Pemilihan lahan yang kurang tepat, misalnya : lahan yang sering terkena genangan air.
Penggunaan bibit yang tidak berkualitas, karena tidak mengertian atau membeli bibit bukan dari dinas pertanian atau dari pembibit yang profesional.
Penggunaan pupuk yang salah secara terus-menerus hanya karena tergiur oleh promosi yang serba wah.
Penggunaan pupuk yang ternyata palsu
Kemampuan pengelola kebun yang kurang memadai. Biasanya karena baru saja memasuki dunia sawit padahal sebelum-sebelumnya adalah sebagai petani jenis tanaman lain (padi, kopi dll)
Terlalu mempercayakan sepenuhnya pengelolaan lahan pada orang lain, padahal orang tersebut tidak layak karena semata-mata mengharapkan gaji. Ini terjadi karena pemilik kebun sawit biasanya sibuk atau jauh dari lahan. Sehingga kurang memperhatikan lahannya sendiri.

Mungkin itu saja dulu yang dapat kutuliskan untuk saat ini. Bila kelak ada penyebab lain tentu akan kusisipkan pada catatanku ini. Selamat malam.

(Ivans : 13 Mei 2014, “Di bawah daun-daun hijau”)

Kumpulan Fakta Sawit

Moratorium kehutanan memang sangat menghambat sektor investasi sawit, namun juga berdampak positip besar pada sektor kelangsungan hutan dan habitatnya.
Pada kenyataannya banyak pohon kelapa sawit yang tumbang atau miring di lahan gambut. Hal ini terjadi karena gambut itu selalu turun setiap saat atau semakin tipis, sedangkan sawit tidak ikut turun sehingga akar sawit menggantung. Jika ditiup angin kencang, maka pohon menjadi miring atau tumbang.Namun pada kenyaannya pula banyak ditemui sawit yang miring tetapi hasil buahnya memuaskan bahkan begitu juga pada sawit yang tumbang.
Dibutuhkan dolomit lebih banyak di lahan gambut daripada di tanah biasa, hal ini karena PH tanah pada lahan gambut sangat rendah.
Pembakaran gambut memang bisa membantu proses meningkatkan PH tanah, tapi hal ini sangat resiko terhadap kebakaran yang tinggi karena gambut saat kering sangat mudah terbakar dan bisa menjalar di bawah hingga kedalaman 7 meter.
Pada jenis gambut tertentu, gambutnya bisa turun hingga mencapai 1/2 meter dalam setahun.
Tanaman perkebunan maupun pertanian holtikultura sebaiknya menggunakan tanah yang mendekati netral, yaitu pada kisaran pH 6-7 agar dapat tumbuh sehat dan berproduksi tinggi.

(IvanS)

Akibat Mengambil Buah Sawit Yang Kurang Matang

Catatan Harian November 2013

Berdasarkan pengalaman para petani dan para  ahli sawit, pengambilan buah sawit yang kurang matang akan mengakibatkan berkurangnya buah di periode berikutnya.

Setiap panen selalu saja  ada buah yang kurang matang yang diambil oleh para pendodos atau pengegrek meskipun mereka sudah mengambil sedikit sampel dari buah dengan melukainya. Panen buah kurang matang ini sering terjadi karena pohon tinggi, sehingga sulit untuk mendeteksi apakah buahnya sudah masak/matang atau masih mentah. Saat sering terjadi keraguan seperti itu biasanya pemanen memutuskan untuk mengambil buah.

Untuk mengatasi pengambilan buah kurang matang itu, kepada para pemanen akhirnya hari ini saya berikan aturan :

Jika ragu-ragu lebih baik buah ditinggalkan saja
Jika memanen yang kurang matang, maka si tukang panen akan didenda atau tidak akan dipakai lagi pada panen mendatang.

Ah… sobat! Tega juga akhirnya aku mengatakan hal yang terakhir itu.

Catatan-catatan harian lainnya :

Daun Hijau Album 1

Foto-foto selama di kebun sawit yang dikemas sebagai image untuk pelengkap catatan harian di website www.DaunHijau.com :

Panen Buah Sawit di Kebun ku

Catatan 13 November 2013 : Ini hari ke 3 panen, kupikir menambah sedikit lagi bumbu semangat daripada hari-hari sebelumnya dalam membantu mengumpulkan dan mengangkati buah agar tidak pulang lebih kemalaman seperti kemarin tentu merupakan elemen yang baik sekaligus sedikit-dikitnya bisa sebagai pengganti olah-raga demi kesehatan. Kesehatan meski lengan mulai kesemutan.

Ada sedikit catatan-catatan kecil tentang hari ini :

Hah… keringat teman-teman peng-egrek, dan sopir angkong sudah mulai menandingi gerimis!
Menjelang pulang mobil tidak bisa menanjak meski gardan dua sudah kupasang. Terpaksa memakai gardan delapan alias didorong teman-teman.
Harga buah sawit hari ini oleh si juragan yang baik ditambah lagi 20 rupiah menjadi Rp 1.520 /kg. Katanya harga khusus buat saya.
“Harga khusus buat saya?! Ah.., yang benerlah gan!” :)
Lumayan juga, tua-tua begini setelah dua hari sebelumnya ngangkat berton-ton, hari ini masih bisa mengangkat total lebih dari 4 ton, sisanya dibantu teman. (Rekor bulan September ngangkat sendiri 6 ton)
Total hasil hari ini adalah …. ton. (Sssst… rahasia, takut didengar preman sebelah yang suka minta jatah…. hehehehe… :) )

Catatan Harian Lainnya :

Investor Gempor dan Bunga-bunga Rumput Liar

Kondisi kendaraan yang dibawa ke lahan sawit gambut tebal

Kondisi kendaraan yang dibawa ke lahan sawit gambut tebal

Catatan Harian 17 November 2013

Bagi sebagian orang, jangan  kata tentang  melakukan pekerjaan-pekerjaan ladang sawit di daerah gambut tebal seperti : menumbang kayu, menanam bibit, mengimas, menyemprot, membuat pasar pikul dll, bahkan untuk bisa sampai ke lahan/ladang miliknya saja kadang sudah ada yang gempor. Apalagi saat musim hujan atau saat panas terik. Pekerjaan ladang bisa menjadi sangat melelahkan, karena meskipun musim hujan, tapi matahari sering terik menyengat, belum lagi kaki selalu masuk ke dalam gambut hingga batas pangkal paha. Kau boleh saja bertanya, bagaimana mungkin seseorang bisa gempor hanya karena melakukan perjalanan menuju ke ladangnya sendiri?

Ini ada kisahnya. Ada seorang investor sawit dari Jakarta yang sama sekali belum pernah melihat lahan yang dibelinya lebih dari tiga tahun lalu. Ladang yang cukup luas itu dibelinya dengan harga cukup murah, karena memang letaknya cukup jauh dari jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan beroda empat. Memanglah kalau di Riau, jika kalian mencari lahan yang cukup luas untuk perkebunan, sudah sangat sulit jika mencarinya dengan memasukkan ketentuan harus dekat dengan jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan beroda empat. Kalau ada biasanya harganya sudah mahal. Sebagai ancang-ancang, yang hutan belantara saja sekarang sudah banyak yang menawarkan Rp. 15 juta rupiah. Yang lebih murah dari itu biasanya bermasalah atau buntut-buntutnya harganya malah jauh di atas itu.

Kembali ke cerita. Sejak pembelian lahan, penanaman sawit, perawatan hingga sudah mulai berbuah dompet ia percayakan kepada kenalannya sebagai pengelola, sedang temanku hanyalah pekerja hariannya saja.

Suatu ketika, karena penasaran ingin melihat lahannya yang dikelola kerabatnya itu, ia jauh-jauh datang dari Jakarta dan minta ikut hingga ke lahan. Oleh kerabatnya sudah disampaikan secara halus bahwa musim hujan ini akan semakin sulit masuk ke lokasi, mungkin lain hari. Tapi karena dia bilang mampu dan pasti bisa dia pun ikut. Lagipula kerabatnya itu nggak berani banyak-banyak melarang, khawatir dikira nggak mau memperlihatkan hasil kerja yang dibiayainya selama ini karena ada sesuatu. “It’s ok”, katanya dalam hati lalu berangkat.

Setelah melalui jalan tanah sekitar 5 km jauhnya dari ujung jalan aspal,  mobil sudah tidak bisa lagi masuk, apalagi mobil keren begini, jika dipaksakan, bisa-bisa saat pulang pulang sudah penuh dengan grafiti, atau tulisan kaligrafi hasil karya ranting-ranting pohon.

Jadi mobil tidak bisa masuk karena gambut yang cukup tebal, ranting-ranting pohon dan kayu-kayu tunggul yang masih bernongolan karena  jalan ini memang masih berupa jalan hasil timbunan backhoe.Sarana terbaik yang bisa masuk akal adalah naik pompong (sejenis perahu kecil) atau kendaraan roda dua. Itupun terseok-seok karena kadang ban sering tenggelam hampir setengahnya di gambut basah. Perjalanan sejauh 12 KM yang sulit itu terpaksa kami ditempuh berboncengan naik kendaraan motor roda dua. Seringkali kami harus turun dan menuntun kendaraan sewaktu masuk lumpur gambut atau melewati jembatan yang hanya terdiri dari dua balok melintang.

Sampai di lahan, ia salaman dan berbincang sebentar dengan petani-petani disitu, kemudian masuk gubuk langsung tergeletak, lalu tertidur di atas papan dengan mimpi yang hanya dia yang tau, kalau boleh kutebak maka untuk sekelas dia, barangkali sedang bermimpi menginap di hotel-hotel seperti : St. Regis Hotel, Westin Hotel, The Langham, Raffles Hotel, Rosewood, atau mungkin mimpi tentang arti GEMPOR. Heh… jangan kalian kira aku paham hotel-hotel mewah gitu, aku cuma googling di Internet.

Dia terbangun menjelang sore, dari jendela gubuk dia melihat sekilas areal perkebunan sawitnya yang luas itu, lantas dia bilang “Udah kupercayakan sajalah pada kalian, sekarang tolong antar aku pulang” sambil mengibas celana panjangnya dari bunga-bunga mirip duri dari rumput liar yang melekat.

Jadi kupikir begini : memang seorang investor dan tangan kanannya yang ada di lapangan haruslah saling menjaga antara satu sama lain, menjaga betul tentang kisi-kisi antara hak dan kewajiban yang pantas. Jika semua ini dilakukan dengan baik, tentu hasilnya kelak akan baik pula dan berkesinambungan untuk jangka panjang. Sekaligus memberikan peluang kerja dan pendapatan bagi orang-orang di lingkungan sekitar yang rata-rata adalah rakyat miskin.

Dengan begitu investor-investor lain mungkin bisa lebih tertarik dan mempercayakan modalnya untuk dikelola secara baik di daerah-daerah terpencil seperti ini. Karena seperti kulihat sendiri yang sungguh sangat patut disayangkan, bahwa banyak lahan-lahan terbengkalai, ratusan hektar dibiarkan rusak tidak terurus bahkan tidak ditanami lagi karena kepercayaan yang sudah rusak oleh kepentingan-kepentingan pribadi, kemalasan dan ketamakan di kedua belah pihak.  Akupun sudah memahami, untuk jangka panjang : kebun sawit bisa sangat menjanjikan, tapi bisa juga menjadi malapetaka bagi siapa saja yang tamak dan tidak sabar.

Dari catatan Harianku “Di Bawah Daun-daun Hijau by Ivan Mangunsong”

Catatan-catatan harian lainnya :

Antara Investor Kelapa Sawit, Warung Kopi, Petani Pasrah, Internet dan Aku

Catatan Harian 19 November 2013

Seorang bapak setengah baya tiba-tiba menepuk pundak saya dari belakang, dengan senyum mengembang dia bilang temannya pak Wardi berkali-kali ingin bertemu karena ingin mengucapkan terimakasih. Dia ingin berterima kasih karena dia merasa terbantu dan berhasil menemukan pembeli atau lebih tepatnya investor untuk kebun sawitnya. Tentu saja aku bengong, soalnya aku lupa siapa bapak ini, dan siapa temannya. Dan kalian yang membaca ini harus kukasih tahu, dalam urusan yang kuanggap tidak terlalu penting biasanya aku menjadi sarang aneka macam jenis lupa.

Seperti biasa, aku lebih memilih diam, sambil melihat ke atas seng yang tanpa langit-langit itu sambil melipat-lipat kulit jidat hingga membentuk unduk-undukan. Dia paham membaca situasiku, dia lalu berusaha bercerita agar ingatanku bisa pulih. Dia bilang bahwa beberapa bulan lalu saat gerimis-gerimis (dalam  hatiku : “Ah…, terlalu banyak gerimis, gerimis yang mana lagi ini?) turun, temannya pak Wardi dan beberapa orang dikedai termasuk aku sedang ngiup, ngobrol sambil minum-minum kopi. Waktu itu temannya cerita bahwa dia sudah pusing ngurusin ladang sawitnya karena tidak punya biaya. Sementara kalau terus-terusan dibiarkan begitu, tanpa pemupukan, tanpa racun serangga dan segala tetek bengeknya, bisa jadi pohon-pohon sawit itu itu bakalan tambah banyak yang rusak. Jadi dari 14 hektar itu ingin dijualnya setidaknya 4 hektar sebagai modal untuk membenahi ladang tersebut. Begitu mendengar kata ladang sawit dijual, ingatanku langsung berubah 360 derajat, ibarat sebuah kerinduan yang bertemu dengan kekasih tercinta yang telah lama meninggalkannya, berpelukan!
“Ya, aku sudah ingat,!!” Sambil tersenyum padanya.

Sebelum kulanjutkan, beginilah ingatanku tentang cerita tentang pak Wardi temannya itu :

Hujan gerimis waktu itu menyebabkan beberapa orang berteduh di sebuah warung kecil di daerah Tegar Riau. Aku yang sedang dalam perjalanan ke ladangku, ikut pula nimbrung di sana. Kelihatannya orang yang mampir ke kedai kecil ini tidaklah begitu saling mengenal, rata-rata mereka adalah orang yang sedang lewat dan singgah hanya untuk berteduh, kalaupun kenal kebanyakan sebatas karena sering saling berpapasan waktu di jalan. Tapi kondisi itu tidaklah mengganggu komunikasi, tak begitu lama suasa sudah berubah menjadi cukup hangat dan orang-orang berubah seperti sudah saling mengenal antara satu dengan lainnya. Tapi seperti biasa, aku lebih banyak diam, hanya sesekali ikut tertawa atau tersenyum sampai suatu saat tiba giliran seorang bapak bernama Wardi mengeluhkan tentang ladang gambut yang diolahnya sendiri. Luas ladang sawitnya 14 hektar, seluruhnya sudah ditanami, namun demikian banyak juga yang harus disisipi karena banyak pohon sawitnya yang tumbuh tidak sempurna, daun keriting-keriting, daun menguning dan bahkan ada pohon sawit yang mati terserang rayap atau busuk entah kenapa, jumlah pohon dengan kondisi rusak seperti itu cukup banyak, sedangkan dia sudah tidak bisa lagi menggaji anggota untuk membantu merawat ladang itu. Pada intinya sebagian, yaitu 4 hektar harus dijualnya. Selain untuk biaya pengolahan dan perawatan, juga untuk menutupi hutang ke saudaranya. Dia minta ladang berumur 3 tahun lebih itu dijualkan 40 juta saja perhektar, nego dikit. Karena aku tidak punya banyak kenalan yang sedang ingin membeli ladang maka dia kuberi saran, bahwa kalau mau, tulis data-data tentang lahannya, umur sawit, berapa batang yang rusak, berapa yang sudah berbuah, kondisi lahan, dsb, tak lupa no. HP untuk diikutkan di iklan tersebut. Biar kucoba memasukkannya ke dalam websiteku dan ke media periklanan internet lainnya. Dia mau.

Selang beberapa minggu, aku ketemu lagi dengan bapak tersebut di warung kopi yang lain, dia bilang ada beberapa respon dari iklan yang kupasang internet itu, satu orang yang mendekati kata sepakat adalah orang yang menelpon dari Jakarta. Dia malah ingin membeli semuanya, tapi ditolak, namun akhirnya dapat 4  hektar pun dia sudah mau. Masalahnya dia jauh di Jakarta dan masih memikirkan bagaimana cara mengurus lahan itu nantinya, sementara saudaranya ternyata mundur, memilih menganggur daripada tinggal di areal perkebunan terpencil yang tak ada listrik itu. Harga sudah deal, tapi dia harus mencari dulu siapa yang mau mengurus. Dan dia tidak bisa memastikan kapan hal itu bisa diputuskan.

Pak Wardi kutanya, misalkan orang Jakarta itu mau membeli, dia jadi nggak memakai anggota atau pekerja untuk menjaga sisa ladangnya. Dia bilang, tentu, karena dia tidak akan mampu bolak-balik ke daerah Tegar ini untuk mengurus sisa kebunnya itu. Ditambahkannya, bahwa yang jaga ladang akan digaji Rp 1.800.000 rupiah perbulan.
Lalu kusarankan padanya agar mencoba menawarkan kepada orang Jakarta itu bahwa ia akan membantu mengurus ladang tersebut jika dia jadi membelinya. Pak Wardi dan orang Jakarta itu bisa patungan untuk membayar pekerja ladang. Jika pekerja ladang itu tadinya digaji Rp 1.800.000 maka bapak tinggal membagi dua. Atau agar betul-betul adil gunakan perhitungan :

Rp 1.800.000 : 14 hektar = Rp. 128.571, bulatkan saja Rp 130.000
Karena bapak itu membeli 4 hektar, maka dia harus membayar gaji bulanan pekerja ladang tersebut sebesar :
Rp 130.000 x 4 hektar = Rp. 520.000

Bapak agak tertolong, karena tidak perlu lagi membayar Rp. 1.800.000, bapak tinggal membayar sisanya yaitu Rp 1.800.000 – 520.000 = Rp 1.280.000

Jangan lupa bicarakan tentang biaya penyisipan, pemupukan, peracunan tanaman, dsb, bapak kan sudah tahu hitungannya, sebutkan saja padanya. Kalaupun bapak minta biaya tambahan, katakanlah karana posisi bapak di sini bertindak sebagai mandor katakan saja padanya, siapa tahu diberi. Tapi pak Suwardi bilang nggak usahlah, yang penting sebagian lahannya laku, dan dia bisa mengolah ladangnya lagi itu sudah sangat disyukuri. Lagipula ia akan mendapat kenalan baru. Siapa tau bisa menjadi teman yang baik. Begitu dia bilang saat menutup pembicaraan.

Kembali ke cerita di atas.

“Jadi sudah laku ladangnya pak Wardi itu?” tanyaku
“Sudah pak, orang Jakarta itu bahkan datang ke lahan, tapi ia cuma melihat sebentar, tawar-menawarnyapun tidak rumit, lalu membayar kontan. Ladang itu laku 40 juta/hektar, tapi surat SKGR ditanggung berdua dengan pak Wardi. Pak Wardi minta patungan Rp. 500.000 untuk menggaji orang yang merawat ladang mereka, tapi kata orang Jakarta itu akan mengirim Rp. 1.000.000 tiap bulan untuk penjaganya, yang penting lahan 4 hektarnya itu diurus dengan baik. Karena senang, akhirnya penjaga ladang itu digaji Rp 2.000.000 per-bulan oleh pak Wardi. Kelihatannya mereka semua sama-sama senang pak. Orang Jakarta itu juga bilang, kalau boleh, tolong carikan lahan lain yang dekat-dekat ladangnya itu untuk dikelola bersama. Dia merasa beruntung ketemu orang Jakarta yang sangat baik hati. Makanya itulah pak, telponlah pak Wardi, dia sudah lama pingin ketemu, kelihatannya mau kasih sesuatu. ”
“Hah…ha…ha…” Aku cuma terawa
“Iya, serius  pak!
“Heran, mau juga orang jauh-jauh dari Jakarta datang ke Tegar ini kataku”
“Iya, lagian dia seorang ibu-ibu setengah tua, istrinya pak  N*********”
Aku menepuk jidat, “Healah….!”
“Kenapa pak?!” Tanyanya setengah kaget
“Nggak apa-apa kok, kataku, orang itu orang baik-baik kok. Kirim salam saja sama pak Wardi, katakan semoga berhasil dan bisa menjaga agar kerjasama mereka tetap awet dan berkembang” Kataku sambil pamit menutup pembicaraan.

“Catatan Harian : “Di bawah Daun-daun Hijau”

Catatan-catatan harian lainnya :

Tempat Memperoleh Kecambah Kelapa Sawit PPKS

Catatan Harian 23 November 2013

Malam ini rasanya badan lelah setelah dua harian membantu menaikkan  TBS sawit ke dalam mobil. Sambil istirahat aku browsing sana-sini, tak sengaja ketemu dengan alamat-alamat tempat memperoleh kecambah kelapa sawit yang merupakan kecambah dari PPKS. Mungkin ini bermanfaat, jadi kucantumkan saja di bawah ini, semoga berguna :

PPKS Medan
Jl. Brigjen Katamso 51 Medan
Telp: 061-7862477 ext 120
—————————————————–
PPKS Marihat
Jl.Pematang Tanah Jawa KM.5 marihat Ulu
Pematangsiantar
Telp: 0622-21926
—————————————————–
PPKS Sub Station Parindu
Parindu, Kec. Tayanwulu, Kab. Sanggau,
Kalimantan Barat
CP. Bpk Supriyadi (0813 75 481 822)
—————————————————–
PPKS bekerjasama dengan Balai Penelitian Sembawa
Jl. Palembang – Betung Km. 29, Po Box. 1127 Banyuasin 30001
Sumatera Selatan
Telp. (0711) 7439493
—————————————————–
PPKS bekerjasama dengan ASTRA
PT. Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi
Kumai, Pangkalan Bun Kalimantan Tengah
CP. Bpk SP. Mulyono (0856 51 329 402)
—————————————————–

Hujan..!

“Aku” Catatan Harian di Kebun Sawit Catatan Harian Fotoku Catatan Harian Kata Bijak Puisi daun Hijau Kumpulan Catatan Harian “Waktu ke Waktu” Kumpulan Catatan Pendek “Daun Hijau”