21
Nov
2013
No Comments
Catatan Harian 19 November 2013
Seorang bapak setengah baya tiba-tiba menepuk pundak saya dari belakang, dengan senyum mengembang dia bilang temannya pak Wardi berkali-kali ingin bertemu karena ingin mengucapkan terimakasih. Dia ingin berterima kasih karena dia merasa terbantu dan berhasil menemukan pembeli atau lebih tepatnya investor untuk kebun sawitnya. Tentu saja aku bengong, soalnya aku lupa siapa bapak ini, dan siapa temannya. Dan kalian yang membaca ini harus kukasih tahu, dalam urusan yang kuanggap tidak terlalu penting biasanya aku menjadi sarang aneka macam jenis lupa.
Seperti biasa, aku lebih memilih diam, sambil melihat ke atas seng yang tanpa langit-langit itu sambil melipat-lipat kulit jidat hingga membentuk unduk-undukan. Dia paham membaca situasiku, dia lalu berusaha bercerita agar ingatanku bisa pulih. Dia bilang bahwa beberapa bulan lalu saat gerimis-gerimis (dalam hatiku : “Ah…, terlalu banyak gerimis, gerimis yang mana lagi ini?) turun, temannya pak Wardi dan beberapa orang dikedai termasuk aku sedang ngiup, ngobrol sambil minum-minum kopi. Waktu itu temannya cerita bahwa dia sudah pusing ngurusin ladang sawitnya karena tidak punya biaya. Sementara kalau terus-terusan dibiarkan begitu, tanpa pemupukan, tanpa racun serangga dan segala tetek bengeknya, bisa jadi pohon-pohon sawit itu itu bakalan tambah banyak yang rusak. Jadi dari 14 hektar itu ingin dijualnya setidaknya 4 hektar sebagai modal untuk membenahi ladang tersebut. Begitu mendengar kata ladang sawit dijual, ingatanku langsung berubah 360 derajat, ibarat sebuah kerinduan yang bertemu dengan kekasih tercinta yang telah lama meninggalkannya, berpelukan!
“Ya, aku sudah ingat,!!” Sambil tersenyum padanya.
Sebelum kulanjutkan, beginilah ingatanku tentang cerita tentang pak Wardi temannya itu :
Hujan gerimis waktu itu menyebabkan beberapa orang berteduh di sebuah warung kecil di daerah Tegar Riau. Aku yang sedang dalam perjalanan ke ladangku, ikut pula nimbrung di sana. Kelihatannya orang yang mampir ke kedai kecil ini tidaklah begitu saling mengenal, rata-rata mereka adalah orang yang sedang lewat dan singgah hanya untuk berteduh, kalaupun kenal kebanyakan sebatas karena sering saling berpapasan waktu di jalan. Tapi kondisi itu tidaklah mengganggu komunikasi, tak begitu lama suasa sudah berubah menjadi cukup hangat dan orang-orang berubah seperti sudah saling mengenal antara satu dengan lainnya. Tapi seperti biasa, aku lebih banyak diam, hanya sesekali ikut tertawa atau tersenyum sampai suatu saat tiba giliran seorang bapak bernama Wardi mengeluhkan tentang ladang gambut yang diolahnya sendiri. Luas ladang sawitnya 14 hektar, seluruhnya sudah ditanami, namun demikian banyak juga yang harus disisipi karena banyak pohon sawitnya yang tumbuh tidak sempurna, daun keriting-keriting, daun menguning dan bahkan ada pohon sawit yang mati terserang rayap atau busuk entah kenapa, jumlah pohon dengan kondisi rusak seperti itu cukup banyak, sedangkan dia sudah tidak bisa lagi menggaji anggota untuk membantu merawat ladang itu. Pada intinya sebagian, yaitu 4 hektar harus dijualnya. Selain untuk biaya pengolahan dan perawatan, juga untuk menutupi hutang ke saudaranya. Dia minta ladang berumur 3 tahun lebih itu dijualkan 40 juta saja perhektar, nego dikit. Karena aku tidak punya banyak kenalan yang sedang ingin membeli ladang maka dia kuberi saran, bahwa kalau mau, tulis data-data tentang lahannya, umur sawit, berapa batang yang rusak, berapa yang sudah berbuah, kondisi lahan, dsb, tak lupa no. HP untuk diikutkan di iklan tersebut. Biar kucoba memasukkannya ke dalam websiteku dan ke media periklanan internet lainnya. Dia mau.
Selang beberapa minggu, aku ketemu lagi dengan bapak tersebut di warung kopi yang lain, dia bilang ada beberapa respon dari iklan yang kupasang internet itu, satu orang yang mendekati kata sepakat adalah orang yang menelpon dari Jakarta. Dia malah ingin membeli semuanya, tapi ditolak, namun akhirnya dapat 4 hektar pun dia sudah mau. Masalahnya dia jauh di Jakarta dan masih memikirkan bagaimana cara mengurus lahan itu nantinya, sementara saudaranya ternyata mundur, memilih menganggur daripada tinggal di areal perkebunan terpencil yang tak ada listrik itu. Harga sudah deal, tapi dia harus mencari dulu siapa yang mau mengurus. Dan dia tidak bisa memastikan kapan hal itu bisa diputuskan.
Pak Wardi kutanya, misalkan orang Jakarta itu mau membeli, dia jadi nggak memakai anggota atau pekerja untuk menjaga sisa ladangnya. Dia bilang, tentu, karena dia tidak akan mampu bolak-balik ke daerah Tegar ini untuk mengurus sisa kebunnya itu. Ditambahkannya, bahwa yang jaga ladang akan digaji Rp 1.800.000 rupiah perbulan.
Lalu kusarankan padanya agar mencoba menawarkan kepada orang Jakarta itu bahwa ia akan membantu mengurus ladang tersebut jika dia jadi membelinya. Pak Wardi dan orang Jakarta itu bisa patungan untuk membayar pekerja ladang. Jika pekerja ladang itu tadinya digaji Rp 1.800.000 maka bapak tinggal membagi dua. Atau agar betul-betul adil gunakan perhitungan :
Rp 1.800.000 : 14 hektar = Rp. 128.571, bulatkan saja Rp 130.000
Karena bapak itu membeli 4 hektar, maka dia harus membayar gaji bulanan pekerja ladang tersebut sebesar :
Rp 130.000 x 4 hektar = Rp. 520.000
Bapak agak tertolong, karena tidak perlu lagi membayar Rp. 1.800.000, bapak tinggal membayar sisanya yaitu Rp 1.800.000 – 520.000 = Rp 1.280.000
Jangan lupa bicarakan tentang biaya penyisipan, pemupukan, peracunan tanaman, dsb, bapak kan sudah tahu hitungannya, sebutkan saja padanya. Kalaupun bapak minta biaya tambahan, katakanlah karana posisi bapak di sini bertindak sebagai mandor katakan saja padanya, siapa tahu diberi. Tapi pak Suwardi bilang nggak usahlah, yang penting sebagian lahannya laku, dan dia bisa mengolah ladangnya lagi itu sudah sangat disyukuri. Lagipula ia akan mendapat kenalan baru. Siapa tau bisa menjadi teman yang baik. Begitu dia bilang saat menutup pembicaraan.
Kembali ke cerita di atas.
“Jadi sudah laku ladangnya pak Wardi itu?” tanyaku
“Sudah pak, orang Jakarta itu bahkan datang ke lahan, tapi ia cuma melihat sebentar, tawar-menawarnyapun tidak rumit, lalu membayar kontan. Ladang itu laku 40 juta/hektar, tapi surat SKGR ditanggung berdua dengan pak Wardi. Pak Wardi minta patungan Rp. 500.000 untuk menggaji orang yang merawat ladang mereka, tapi kata orang Jakarta itu akan mengirim Rp. 1.000.000 tiap bulan untuk penjaganya, yang penting lahan 4 hektarnya itu diurus dengan baik. Karena senang, akhirnya penjaga ladang itu digaji Rp 2.000.000 per-bulan oleh pak Wardi. Kelihatannya mereka semua sama-sama senang pak. Orang Jakarta itu juga bilang, kalau boleh, tolong carikan lahan lain yang dekat-dekat ladangnya itu untuk dikelola bersama. Dia merasa beruntung ketemu orang Jakarta yang sangat baik hati. Makanya itulah pak, telponlah pak Wardi, dia sudah lama pingin ketemu, kelihatannya mau kasih sesuatu. ”
“Hah…ha…ha…” Aku cuma terawa
“Iya, serius pak!
“Heran, mau juga orang jauh-jauh dari Jakarta datang ke Tegar ini kataku”
“Iya, lagian dia seorang ibu-ibu setengah tua, istrinya pak N*********”
Aku menepuk jidat, “Healah….!”
“Kenapa pak?!” Tanyanya setengah kaget
“Nggak apa-apa kok, kataku, orang itu orang baik-baik kok. Kirim salam saja sama pak Wardi, katakan semoga berhasil dan bisa menjaga agar kerjasama mereka tetap awet dan berkembang” Kataku sambil pamit menutup pembicaraan.
“Catatan Harian : “Di bawah Daun-daun Hijau”
Catatan-catatan harian lainnya :
by Petani Kelapa Sawit
in Catatan di Kebun Sawit, Catatan Harian
Tags: Catatan harian