Agen Sorax Sadap Latex – Sorax Sachet – Agen Sorax - Jual Sorax Perangsang Getah Karet Harga Murah

Musim Trek, Harga Sawit Naik Petani Tetap Mengeluh

11 Maret 2014

Petani sawit tetap mengeluh walau harga sawit mencapai Rp1.700 per kilogram di tingkat petani. Pasalnya produksi buah sedang menurun alias trek. Penurunan mencapai 70 persen, dari produksi biasanya.

Kepada METRO, Jamal, salah seoran petani kelapa sawit wilayah Kecamatan Rantau Selatan, menjelaskan, dari 2,5 hektare kebun sawit miliknya biasanya menghasilkan sekitar 1,5 ton per panen. Namun, akhir-akhir ini hanya bisa menghasilkan 500 sampai 700 kilogram saja dalam setiap panen.

’’Kita  bingung, mana harus menafkahi keluarga, kita juga harus membeli pupuk pohon. Sedangkan buah sawit hasil panen menyusut tajam, parahnya buah sawit timbangannya ringan,” jelas Jamal.
Menurut Jamal, kondisi trek buah kelapa sawit tentunya mempengaruhi kondisi perekonomian mereka khususnya para petani kelapa sawit.

Hal sama juga dikeluhkan Rahmad. Menurut Rahmad, meski buah sawit dijual dengan harga lumayan, namun tidak bisa menutupi biaya panen dan biaya perawatan tanaman akibatnya menurunya hasil panen.

“Walaupun harga  naik, namun buah tidak ada sama saja,” kata Rahmad. Menurut Rahmad, dalam musim trek seperti ini, Pemerintah diharapkan dapat membantu memberikan informasi bagaimana menangani musim trek, sebab, dia berkeyakinan dengan majunya teknologi pertanian saat ini pasti bisa mengatasi kendala musim trek tersebut.

”Kalau berkaca dengan negara lain semisal Malaysia, mereka bisa mengatasi penyebab trek buah. Tentunya bisa juga mengatasinya, tapi masyarakat kurang mengerti,” katanya. (riz)

Sumber : http://www.metrosiantar.com/

Berita/Artikel Menarik Lain Yg Wajib Diklik :

HABITAT ORANGUTAN DIBULDOSER PERUSAHAAN SAWIT

11 April 2011
Sri Widodo

Jakarta, GEO ENERGI – Centre for Orangutan Protection (COP) melaporkan PT. Berau Sawit Sejahtera (BSS) atas dugaan merusak habitat orangutan di Kalimantan Timur. Laporan dikirimkan ke Kementerian Kehutanan dengan tembusan ke Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Sekretariat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, pasal 21 ayat 2 point (e):  “Setiap orang dilarang untuk mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan / sarang satwa yang dilindungi.”

Paulinus Kristanto, Juru Kampanye Habitat dari COP memberikan pernyataan sebagai berikut:

“Kami meminta Kementerian Kehutanan segera bertindak cepat untuk menghentikan potensi kejahatan terhadap orangutan yang terjadi di dalam kawasan konsesi PT. BSS. Kami memuji gerak cepat BKSDA Kaltim untuk menyelamatkan orangutan yang tersisa di areal konsesi PT. Gunta Samba Jaya (PT. GSJ) pada tahun 2013. Saya yakin, tindakan serupa dapat dijalankan di kawasan konsesi PT. BBS yang letaknya berdampingan dengan PT. GSJ.”

Laporan juga dikirimkan ke Sekretariat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) karena perusahaan tersebut diduga memiliki hubungan dengan PT. Gunta Samba, anak perusahaan PT. Salim Ivo Mas Pratama (SIMP), anak perusahaan Indofood. Sebelumnya, pada tahun 2013, COP melaporkan PT. Gunta Samba Jaya, yang diduga anak perusahaan PT. Gunta Samba. Indofood sendiri terlibat aktif dalam memecahkan masalah ini, namun belakangan mereka menolak memiliki hubungan dengan PT. Gunta Samba Jaya.

Hutan Lindung Wehea dan sekitarnya merupakan habitat penting bagi setidaknya 750 orangutan. Pembabatan hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman serius. Orangutan terus terdesak ke hutan-hutan yang terfragmentasi yang daya dukungnya sangat rendah sehingga orangutan kekurangan pakan. Orangutan yang kelaparan akhirnya memakan tunas kelapa sawit dan karena itu dianggap sebagai hama. Selain kelaparan, mereka juga terancam pemburu. Di hutan yang terfragmentasi, orangutan lebih mudah ditembak. Tim penyelamat BKSDA Kaltim dan COP seringkali harus berpacu melawan waktu untuk menyelamatkan orangutan-orangutan tersebut.

Sumber : http://www.geoenergi.co/read/forest/1825/lagi-habitat-orangutan-dibuldoser-perusahaan-sawit/#.U0iIr876ihp

Informasi Penting Lainnya :

Orangutan Kelaparan Berhasil Dievakuasi Setelah Habitatnya Dibuldoser

Orangutan Kelaparan Berhasil Dievakuasi Setelah Habitatnya Dibuldoser Perusahaan Kelapa Sawit

Orangutan Kelaparan Berhasil Dievakuasi

Perusahaan Kelapa Sawit
April 6, 2013 Aji Wihardandi

Sebuah video yang dirilis oleh Environmental Investigation Agency di situs Vimeo memperlihatkan sekawanan orangutan yang kelaparan berhasil diselamatkan dari sebuah perkebunan kelapa sawit oleh tim International Animal Rescue (IAR) di Kalimantan Barat setelah habitat mereka habis akibat dibuldoser oleh salah satu anggota RSPO (Rooundtable on Sustainable Palm Oil) bernama Bumitama Gunajaya Agro.
Pemusnahan hutan yang masih berisi kawanan orangutan ini sekaligus membuktikan bahwa Bumitama Gunajaya Agro telah melanggar kesepakatan yang tertera di dalam aturan RSPO untuk tidak membuka perkebunan kelapa sawit di hutan alami yang merupakan habitat orangutan sebagai satwa langka serta dilindungi, dan masuk dalam kategori high conservation value forest.

Menurut Direktur Program IAR Indonesia Adi Irawan di Ketapang, masih banyak orangutan yang terperangkap di dalam lokasi yang sangat sempit di dalam hutan, sama seperti beberapa spesies lain yang juga mengalami hal serupa seperti bekantan. “Semua satwa di dalam perkebunan ini berada dalam ancaman dan untuk itu perusahaan ini harus menghentikan pembabatan hutan secepatnya, mereka harus melakukan penilaian ulang terhadap keberadaan habitat dan membangun strategi untuk melindungi satwa yang terancam punah yang ada di dalam wilayah konsesi mereka.”

Dalam video ini diperlihatkan proses penyelamatan yang dilakukan oleh tim International Animal Rescue, bersama dengan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) yang berupaya memindahkan orangutan yang kelaparan dari kawasan mereka yang habis dibabat oleh Bumitama Gunajaya Agro.

Salah satu orangutan yang diselamatkan oleh tim IAR dan BKSDA telah kehilangan bayinya, kemungkinan mati sebelum tim penyelamat hadir. “Lebih banyak orangutan akan mati jika pihak perusahaan tidak menghentikan aktivitas penebangan mereka,” ungkap Karmelle Llano Sanchez, Direktur Eksekutif Yayasan IAR Indonesia.

“Kami akan memeriksa kondisi orangutan yang diselamatkan lebih jauh. Mereka sudah lama mengalami kelaparan sebelum kami menyelamatkan mereka, karena lokasi tempat kami menemukan mereka sudah nyaris habis seluruhnya dan terlalu kecil untuk menyediakan makanan bagi mereka,” tambah Karmelle.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, Hayati dan Ekosistemnya, membunuh orangutan yang merupakan satwa dilindungi bisa dijatuhi hukuman penjara dan denda seratus juta rupiah.

Silakan klik di link ini untuk menonton video selengkapnya: West Kalimantan orangutan rescue, March 2013

Sumber : Mongabay

Artikel/Berita dan Informasi Penting Lainnya :

Beribu Keruwetan untuk 8.000 Hektare Lahan

Senin, 25 Agustus 2014

Berbuat atau tidak berbuat
Berbuat berisiko
Tidak berbuat tidak berisiko
Berbuat?
Tidak perlu berbuat?
***
BERBUAT atau tidak berbuat. Itulah yang harus diputuskan untuk mengurai kekusutan 8.000 hektare lahan perkebunan BUMN di Medan. Sudah bertahun-tahun lahan itu diduduki orang. Ribuan rumah permanen berdiri di lahan tersebut. Setiap hari jumlahnya bertambah. Tanpa bisa dicegah.

Dari 8.000 hektare itu, yang jadi rumah mencapai 4.000-an hektare. Tapi, karena letak rumah-rumah itu bertebaran, tanah kosong yang kalau dijumlah masih 4.000 hektare itu tidak bisa dikuasai juga.

Secara hukum, tanah itu milik PTPN II (Persero). Tapi, kenyataannya penuh dengan masalah. Ribuan kasus hukum terjadi di situ. Itulah profil wilayah perkebunan yang terus terdesak oleh perkotaan. Itulah perkebunan yang sudah tidak ada kebunnya.  Itulah perkebunan yang sudah lebih banyak rumah ilegalnya daripada pohon sawitnya.

Di zaman Belanda, perkebunan itu memang berada di luar Kota Medan. Jumlah penduduk Medan yang sedikit saat itu tidak menjadi ancaman sama sekali. Kian lama penduduk bertambah. Kemiskinan juga meluas.

Maka, pada zaman kegembiraan kemerdekaan, sebagian wilayah kebun itu ikut “merdeka”. Ribuan hektare berubah menjadi permukiman dadakan.

Sekian tahun kemudian jumlah penduduk meledak. Kemiskinan juga kian besar. Pada pergolakan 1965, terjadi hal yang sama. Ribuan hektare lagi berubah wujud. Ledakan jumlah penduduk tidak pernah berhenti. Kota Medan terus diperluas. Pada zaman riuhnya reformasi 1998, sekian ribu hektare lagi berubah pula menjadi permukiman tiba-tiba.

Hingga hari ini, desakan penduduk ke wilayah perkebunan itu terus terjadi. Rumah baru terus bertambah. Pohon sawit yang masih hidup disiram minyak. Agar mati pelan-pelan. Agar ada alasan untuk ditebang. Lalu, diduduki. Didirikan rumah. Gerakan seperti itu nyaris terstruktur, sistematis, dan masif.

Pelanggaran itu sebenarnya sering diadukan. Tapi, proses bertambahnya kasus lebih cepat daripada penyelesaiannya. Misalnya dilakukan tindakan keras, yang melawan lebih besar daripada jumlah petugas.

Tidak lama lagi sisa tanah 4.000 hektare itu pun akan menyusut. Sekarang pun masalah itu sudah rumit. Tapi, kalau tidak diselesaikan, akan lebih rumit lagi.

Berbuat atau tidak berbuat?
Aset BUMN (PTPN II) itu perlu diselamatkan atau tidak? Haruskah pendudukan itu dibiarkan? Sudah berapa tahun “pembiaran” itu dilakukan?

Rasanya memang lebih aman membiarkan itu daripada mengurusnya. Tapi, untuk apa ada pemerintah?

Maka, saya minta direksi PTPN II untuk mencari jalan terbaik. Memang penuh risiko, tapi cobalah berbuat sesuatu. Atau bom ini akan meledak. Tinggal tunggu waktu. Saya menyadari tugas itu tidak mudah. Risikonya luar biasa: bisa masuk penjara, bahkan kehilangan nyawa.

Satu hal yang sudah pasti: kawasan yang sudah masuk Kota Medan itu tidak mungkin lagi dikembalikan menjadi areal perkebunan. Pasti tidak akan pernah bisa panen. Bahkan sudah tidak rasional. Perkebunan kok di dalam kota. Mengusir ribuan rumah permanen itu juga hil yang mustahal. Bisa terjadi revolusi.

Mereka memang tidak akan pernah bisa mendapat sertifikat tanah. Tapi, kenyataannya, mereka sudah bisa mewariskannya dan memperjualbelikannya.

Yang lebih pasti lagi: pemerintah sudah melarang kawasan itu dijadikan perkebunan. Tata ruangnya sudah berubah.

Berbuat atau tidak berbuat?

Saya putuskan untuk berbuat. Bisa saja kelak saya difitnah telah melepas tanah 8.000 hektare di tengah-tengah Kota Medan yang mahal. Bisa saja kelak saya dianggap korupsi di situ. Bisa saja kelak saya dianggap salah dalam memutuskan masalah tersebut dan harus masuk penjara.

Berbuat atau tidak berbuat?

Saya putuskan untuk berbuat. Tapi, saya minta prosesnya seterbuka mungkin. Sebersih mungkin. Sebaik mungkin. Hasilnya pun nanti harus untuk beli lahan perkebunan. Yang luasnya melebihi 8.000 hektare. Untuk menambah luasan kebun PTPN II yang kini masih tersisa 43.000 hektare.

Idenya pun ditemukan. Kawasan 8.000 hektare yang ruwet itu akan dijadikan kota baru Medan. Namanya terserah. Seperti BSD di Jakarta. Toh, Kota Medan perlu perluasan. Perencanaan kotanya harus bagus dan profesional. Jangan menjadi pusat kekumuhan baru.

PTPN II tidak mungkin mengerjakan itu sendiri. Harus cari partner. PTPN II hanya ahli di perkebunan. Bukan ahli tata kota. PTPN II juga tidak punya kemampuan bagaimana mengurus ribuan rumah ilegal yang menguasai 4.000 hektare tersebut.

Partner itulah yang dicari setahun terakhir ini. Lewat tender terbuka. Bisa diikuti siapa saja. Dalam proses tender ini, lembaga seperti BPKP dan Kejaksaan Agung kami minta fatwanya. Takut prosesnya salah  atau kurang fair.

Di ujung proses tender itu, seperti dilaporkan Dirut PTPN II Bhatara Moeda Nasution, ada tiga perusahaan yang lolos: PT Danayasa Tbk dari Grup Artha Graha, PT Pancing Medan, dan PT Ciputra Tbk dari Grup Ciputra. Seluruh proses itu terjadi dan dilakukan di Medan. Menteri atau pejabat Kementerian BUMN tidak ikut campur sama sekali.

Hasil akhirnya: Ciputra yang menang. Tugasnya berat. Termasuk mengurus yang ribuan rumah itu dengan cara yang baik.

Begitulah. Sebuah kota baru yang indah dan besar akan lahir di Medan. Itu kalau proses tersebut bisa diterima. Justru karena itulah proses ini saya ungkap saja secara terbuka sekarang. Mumpung masih bisa dibatalkan.

Siapa tahu ada yang berpendapat lebih baik saya tidak usah berbuat apa-apa.(*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Sumber : http://www.jpnn.com/read/2014/08/25/253666/Beribu-Keruwetan-untuk-8.000-Hektare-Lahan-

Kampanye Negatif Sawit, Pengusaha Tuntut Kepastian Hukum

02/02/2015
Bambang Supriyanto

JAKARTA – Pengusaha kelapa sawit di Kalimantan Tengah memprihatinkan aksi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melakukan survei untuk kampanye negatif.

“Kampanye negatif dalam bentuk survei yang terencana itu merusak iklim investasi di daerah. Sejumlah survei belakangan ini cenderung tidak berdasar dan patut dipertanyakan,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Kalimantan Tengah Dwi Darmawan dalam keterangan tertulis, Senin (2/2)

Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah harus memberikan kepastian hukum sebagai salah satu upaya untuk melawan kampanye negatif (negative campaign) yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Sebelumnya, pengelola perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah menuai sorotan karena survei terencana hanya mengambil tiga sampel yang dilakukan The Institute for Ecosoc Rights. Survei itu menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit menggusur lahan warga setempat.

Dia menjelaskan survei hanya mengambil sample tiga perusahaan dari sekian puluh perusahaan di Kalteng. Survei itu menuding pelaku industri menggusur lahan rakyat dan merusak lingkungan. Itu sama sekali tidak benar dan tidak berdasa.

“Ini kriminalisasi komoditas Indonesia. Patut diduga ada kepentingan tertentu yang ingin merusak iklim investasi di negeri ini,” tegasnya.

Dia menjelaskan perkebunan sawit ikut membangun perekonomian daerah dan perekonomian nasional. Hal itu ditunjukkan dari perolehan devisa ekspor yang tinggi, menciptakan tenaga kerja, dan tidak kalah penting membangun infrastruktur daerah.

Ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya pada 2014 mencapai US$20,8 miliar atau setara dengan Rp262 triliun.

Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mendukung upaya masyarakat dan pelaku industri meminta kepastian hukum terhadap gangguan iklim investasi di daerah.

“Ini komitmen dari pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla untuk membuat iklim investasi kondusif, salah satunya dengan memberikan kepastian hukum,” ujarnya.

Dia menjelaskan kampanye negatif yang digaungkan LSM bukan hanya di Kalteng, tetapi dilakukan secara internasional.

Sumber :

http://industri.bisnis.com/read/20150202/99/397774/kampanye-negatif-sawit-pengusaha-tuntut-kepastian-hukum

Pahitnya Gaji di Kebun Sawit

Senin, 02 Februari 2015

Jika sebelumnya ada lebih dari 20 karyawan sawit yang bekerja pada PT. Wira Mas Permai anak perusahaan Kencana Agri.Ltd, mendatangi kantor DPRD Banggai, Rabu (28/01) bulan lalu. Maka, anak perusahaan Kencana lainnya yang berada di kecamatan Batui dan Batui Selatan mengalami kasus serupa.Yakni soal upah dan ketidakjelasan perjanjian kerja.

PT. DSP dengan luas perkebunan mencapai 4090.Ha berencana hanya akan mempekerjakan karyawannya tiga hari dalam sepekan, dengan upah harian Rp.35.700/hari, sehingga total gaji yang diterima karyawan di perusahaan ini dalam sebulannya 35.700 x 12 atau sama dengan Rp.428,400 atau bisa mencapai 500 ribu lebih jika di hitung lembur.

“Mau makan apa kita kalau gaji cuma lima ratus ribuan tiap bulan,” ungkap nelson warga Bangkep saat ditemui transs di areal kebun DSP yang berjarak 9,5 Km dari ibukota kecamatan Batui.

Soal akan mengikuti jejak karyawan PT. Wira Mas,hal itu tidak dapat mereka lakukan, karena apabila mereka berani melakukan hal itu bisa jadi pihak perusahaan memberhentikan mereka. “Tidak berani apalagi sampai demo, kita bisa di pecat, trus kitorang ini(kami-red) warga Bangkep” kata karyawan lainnya.

Benar saja hak hak tenaga kerja di perusahaan perkebunan ini sejak lama tidak begitu di perhatikan, apalagi hanya sebagai tenaga harian biasa. Kerja tanpa kartu putih dari Dinas Tenaga Kerja telah memastikan bahwa keberadaan mereka tidak pernah terlapor sebagai tenaga kerja di dinas tenaga kerja. Hal ini sempat diungkapkan salah satu mandor lapangan kepada transs.

Menghadapi kondisi rencana kerja tiga hari dalam satu pekan, memutuskan para karyawan di PT. DSP itu bersiap siap pulang kampung di Kabupaten Banggai Kepulauan. “Ya untuk saat ini, kita sudah siap siap mo pulang.Mudah mudahan di Bangkep perusahaan sawit disana (Agrodeko-red) cepat terima karyawan, karena kita datang dan pulang pakai ongkos pribadi tidak ada fasilitas dari perusahaan”Ujar nelson pasrah.

Kurangnya perhatian pihak perusahaan baik itu terhadap kesehatan, upah dan konpensasi ketika ada kecelakaan kerja, menjadi jejak rekam yang buruk bagi dunia perburuhan di PT. Delta Subur Permai ungkap sumber lain yang enggan disebutkan namanya.

Dilain pihak, terkait perhatian perusahaan terhadap pekerjanya, Budi Siluet aktivis Walhi yang saat itu mendampingi buruh dari PT. Wira Mas Permai ketika bertandang kekantor DPRD Banggai, Ia menyatakan, persoalan tenaga buruh pada perusahaan tersebut cukup kompleks dan sangat memprihatinkan. Mulai dari gaji yang tidak sesuai UMP, tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, yang jelas hingga pada ancaman PHK sepihak dari perusahaan sering terjadi.

Seperti informasi yang dihimpun transs, diketahui saat ini, Kencana agri Ltd. Memiliki tiga titik lahan perkebunan sawit di Kabupaten Banggai, mulai PT. Wira Mas Permai (WMP) di Kecamatan Baulaemo, PT. Delta Subur Permai (DSP) di Kecamatan Batui, PT. Sawindo Cemerlang (SCEM) di Kecamatan Batui dan Batui Selatan.

REPORTER/PENULIS: ADJIE, NONA LAHEBA

Sumber :

http://transsulawesi.com/artikel/2185V3f1d?7654-pahitnya-gaji-di-kebun-sawit-.html

Koalisi Peduli Korban Sawit di Nabire Desak Bupati Cabut Ijin PT. Nabire Baru

03 Februari 2015
Diposkan oleh : Eveert Joumilena

Perkebunan Kelapa Sawit milik PT. Nabire Baru di distrik Yaur. Jubi/ Dok. Robertino Hanebora.

Perkebunan Kelapa Sawit milik PT. Nabire Baru di distrik Yaur. Jubi/ Dok. Robertino Hanebora.

Timika, Jubi – Koalisi Peduli Korban Sawit Di Nabire (Dewan Adat Meepago, Dewan Lingkungan Masyarakat Adat Papua,PUSAKA,Green Peace, FIM) minta Gubernur Papua melindungi hak masyarakat adat dari rongrongan kapitalis.

Melalui Press release yang dikirim kepada Jubi,Senin(2/2/2015), dijelaskan, sesuai dengan UU No 21 Tahun 2001 terkait dengan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara masyarakat yerisiam dan MUSPIDA Nabire, serta sesama masyarakat adat maka direkomendasikan beberapa hal untuk menjadi perhatian Gubernur Papua.

Pertama, meminta Gubernur Papua agar mencabut untuk Ijin Usaha Perkebunan PT. Nabire baru di Nabire, dan memanggil dan mempertemukan PT. Nabire Baru dan Masyarakat Adat Suku Yerisiam, jika PT.Nabire Baru tidak mau memenuhi tuntutan maka IUPnya dicabut.

Kedua, dalam semangat OTSUS Papua, PT.Nabire Baru dan PT.Sariwana Unggul Mandiri harus mau membuka perundingan dengan pemilik hak ulayat dalam hal ini Suku Yerisiam dan Suku Mee, untuk membicarakan MoU dengan Masyarakat Adat Yerisiam dan kompensasi kayu yang telah diambil selama ini.

Ketiga, menyatakan penyerahan tanah yang dilakukan oleh Yunus Monei kepada Imam Basrowi yang dilakukan pada 15 Oktober 2008 adalah tidak sah karena telah melanggar hak adat, karena dalam adat tidak mungkin seseorang memiliki tanah seluas ribuan hektar. (Eveerth Joumilena)

Sumber :

http://tabloidjubi.com/2015/02/03/koalisi-peduli-korban-sawit-di-nabire-desak-bupati-cabut-ijin-pt-nabire-baru/

PT Wilmar Dituding Garap Lahan 808 Hektare Di Luar Izin

03 Februari 2015
Noorgita yuliana

Perkebunan Sawit

Perkebunan Sawit

SAMPIT – Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Wilmar Group dituding telah melakukan pelanggaran dengan menggarap ratusan hectare (ha) lahan di luar izin mereka sejak 2006 lalu.

Menurut Asisten II, Setda Kotim Halikin Noor, lahan yang digarap PT Wilmar di luar perizinan di ketahui sekitar 808 ha.

“Lahan ini bermasalah perizinannnya, tapi kalau kawasannya yang sudah APL (areal pengguna lainnya) itu 500 ha lebih. Ada juga yang masih HPK (Hutan Produksi Konversi) dan HP (Hutan Produksi) digarap mereka,” kata Halikini, Senin (2/2).

Tanah yang digarap di luar izin itu rencananya akan diserahkan kepada masyarakat sebagai kebun plasma.

“Harus clear dulu lahan ini termasuk yang APL. Perusahan menanam di luar izin berarti pelanggaran, kita minta selesaikan dulu pelanggarannya sebelum diserahkan ke masyarakat. Karena nanti, apakah ini diberikan kepada masyarakat tidak dianggap pelanggaran, kalau nanti dianggap pelanggaran tetapi tanggung jawab perusahaan, jangan dibebankan ke masyarakat,” ingat Halikin. (borneonews/sampitonline.com)

photo : sawit

Sumber : http://sampitonline.com/?p=5579

Berita Kasus-kasus Sawit Lainnya :

Kampanye Negatif Sawit, Pengusaha Tuntut Kepastian Hukum

02/02/2015
Bambang Supriyanto

JAKARTA – Pengusaha kelapa sawit di Kalimantan Tengah memprihatinkan aksi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melakukan survei untuk kampanye negatif.

“Kampanye negatif dalam bentuk survei yang terencana itu merusak iklim investasi di daerah. Sejumlah survei belakangan ini cenderung tidak berdasar dan patut dipertanyakan,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Kalimantan Tengah Dwi Darmawan dalam keterangan tertulis, Senin (2/2)

Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah harus memberikan kepastian hukum sebagai salah satu upaya untuk melawan kampanye negatif (negative campaign) yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Sebelumnya, pengelola perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah menuai sorotan karena survei terencana hanya mengambil tiga sampel yang dilakukan The Institute for Ecosoc Rights. Survei itu menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit menggusur lahan warga setempat.

Dia menjelaskan survei hanya mengambil sample tiga perusahaan dari sekian puluh perusahaan di Kalteng. Survei itu menuding pelaku industri menggusur lahan rakyat dan merusak lingkungan. Itu sama sekali tidak benar dan tidak berdasa.

“Ini kriminalisasi komoditas Indonesia. Patut diduga ada kepentingan tertentu yang ingin merusak iklim investasi di negeri ini,” tegasnya.

Dia menjelaskan perkebunan sawit ikut membangun perekonomian daerah dan perekonomian nasional. Hal itu ditunjukkan dari perolehan devisa ekspor yang tinggi, menciptakan tenaga kerja, dan tidak kalah penting membangun infrastruktur daerah.

Ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya pada 2014 mencapai US$20,8 miliar atau setara dengan Rp262 triliun.

Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mendukung upaya masyarakat dan pelaku industri meminta kepastian hukum terhadap gangguan iklim investasi di daerah.

“Ini komitmen dari pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla untuk membuat iklim investasi kondusif, salah satunya dengan memberikan kepastian hukum,” ujarnya.

Dia menjelaskan kampanye negatif yang digaungkan LSM bukan hanya di Kalteng, tetapi dilakukan secara internasional.

Sumber :

http://industri.bisnis.com/read/20150202/99/397774/kampanye-negatif-sawit-pengusaha-tuntut-kepastian-hukum

Pahitnya Gaji di Kebun Sawit

Senin, 02 Februari 2015

Jika sebelumnya ada lebih dari 20 karyawan sawit yang bekerja pada PT. Wira Mas Permai anak perusahaan Kencana Agri.Ltd, mendatangi kantor DPRD Banggai, Rabu (28/01) bulan lalu. Maka, anak perusahaan Kencana lainnya yang berada di kecamatan Batui dan Batui Selatan mengalami kasus serupa.Yakni soal upah dan ketidakjelasan perjanjian kerja.

PT. DSP dengan luas perkebunan mencapai 4090.Ha berencana hanya akan mempekerjakan karyawannya tiga hari dalam sepekan, dengan upah harian Rp.35.700/hari, sehingga total gaji yang diterima karyawan di perusahaan ini dalam sebulannya 35.700 x 12 atau sama dengan Rp.428,400 atau bisa mencapai 500 ribu lebih jika di hitung lembur.

“Mau makan apa kita kalau gaji cuma lima ratus ribuan tiap bulan,” ungkap nelson warga Bangkep saat ditemui transs di areal kebun DSP yang berjarak 9,5 Km dari ibukota kecamatan Batui.

Soal akan mengikuti jejak karyawan PT. Wira Mas,hal itu tidak dapat mereka lakukan, karena apabila mereka berani melakukan hal itu bisa jadi pihak perusahaan memberhentikan mereka. “Tidak berani apalagi sampai demo, kita bisa di pecat, trus kitorang ini(kami-red) warga Bangkep” kata karyawan lainnya.

Benar saja hak hak tenaga kerja di perusahaan perkebunan ini sejak lama tidak begitu di perhatikan, apalagi hanya sebagai tenaga harian biasa. Kerja tanpa kartu putih dari Dinas Tenaga Kerja telah memastikan bahwa keberadaan mereka tidak pernah terlapor sebagai tenaga kerja di dinas tenaga kerja. Hal ini sempat diungkapkan salah satu mandor lapangan kepada transs.

Menghadapi kondisi rencana kerja tiga hari dalam satu pekan, memutuskan para karyawan di PT. DSP itu bersiap siap pulang kampung di Kabupaten Banggai Kepulauan. “Ya untuk saat ini, kita sudah siap siap mo pulang.Mudah mudahan di Bangkep perusahaan sawit disana (Agrodeko-red) cepat terima karyawan, karena kita datang dan pulang pakai ongkos pribadi tidak ada fasilitas dari perusahaan”Ujar nelson pasrah.

Kurangnya perhatian pihak perusahaan baik itu terhadap kesehatan, upah dan konpensasi ketika ada kecelakaan kerja, menjadi jejak rekam yang buruk bagi dunia perburuhan di PT. Delta Subur Permai ungkap sumber lain yang enggan disebutkan namanya.

Dilain pihak, terkait perhatian perusahaan terhadap pekerjanya, Budi Siluet aktivis Walhi yang saat itu mendampingi buruh dari PT. Wira Mas Permai ketika bertandang kekantor DPRD Banggai, Ia menyatakan, persoalan tenaga buruh pada perusahaan tersebut cukup kompleks dan sangat memprihatinkan. Mulai dari gaji yang tidak sesuai UMP, tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, yang jelas hingga pada ancaman PHK sepihak dari perusahaan sering terjadi.

Seperti informasi yang dihimpun transs, diketahui saat ini, Kencana agri Ltd. Memiliki tiga titik lahan perkebunan sawit di Kabupaten Banggai, mulai PT. Wira Mas Permai (WMP) di Kecamatan Baulaemo, PT. Delta Subur Permai (DSP) di Kecamatan Batui, PT. Sawindo Cemerlang (SCEM) di Kecamatan Batui dan Batui Selatan.

REPORTER/PENULIS: ADJIE, NONA LAHEBA

Sumber :

http://transsulawesi.com/artikel/2185V3f1d?7654-pahitnya-gaji-di-kebun-sawit-.html